DHAKA (Arrahmah.com) – Tidak ada masa depan bagi 900.000 pengungsi Rohingya yang tinggal di Bangladesh, seorang juru kampanye terkemuka mengatakan pada Rabu (13/3/2019), menyamakan kamp-kamp itu dengan kebun binatang dan menyerukan strategi repatriasi yang tepat.
Pengacara Rohingya, Razia Sultana, mengatakan ada sedikit harapan di antara para pengungsi dari minoritas Muslim, yang melarikan diri dari tindakan brutal militer di Myanmar yang diluncurkan sebagai tanggapan terhadap serangan militan pada Agustus 2017.
“Semakin banyak waktu yang mereka habiskan di kamp-kamp, semakin buruk yang akan didapat,” kata Sultana, yang pekan lalu menerima International Women of Courage Award (IWCA) dari Departemen Luar Negeri AS.
“Ya, mereka mendapatkan makanan. Tapi itu tidak cukup. Ini seperti kebun binatang di mana orang-orang hanya diberi makan dan tumbuh. Tidak ada pendidikan. Tidak ada masa depan,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara.
Sultana, seorang Rohingya yang lahir di Myanmar tetapi tumbuh di Bangladesh, adalah satu dari 10 wanita yang menerima IWCA, yang diberikan kepada wanita yang telah menunjukkan keberanian luar biasa dan menganjurkan perdamaian.
Setelah mewawancarai ratusan korban kekerasan seksual pasca masuknya pengungsi Rohingya sebelumnya pada tahun 2016, ia membentuk Komunitas Kesejahteraan Wanita Rohingya untuk memberikan konseling bagi perempuan di kamp-kamp pada tahun 2017.
Organisasi ini juga melatih relawan Rohingya untuk mengatasi masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan anak di masyarakat.
“Beri wanita Rohingya kesempatan dan sedikit keamanan dan mereka akan membuatmu takjub,” kata Sultana.
“Ketika saya pertama kali mulai bekerja, saya hampir tidak bisa meyakinkan lima gadis untuk mengambil bagian dalam program ini. Hari ini kami memiliki 60 sukarelawan yang melakukan pekerjaan luar biasa. Mereka memberi tahu saya tentang pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga atau risiko perdagangan orang di kamp-kamp,” lanjutnya.
Penyelidik PBB menuduh tentara Myanmar melakukan pembunuhan massal dan perkosaan dengan “niat genosidal” selama serangan besar-besaran yang membuat ratusan desa Rohingya terbuang pada tahun 2017.
Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan serangannya merupakan tanggapan yang sah terhadap ancaman gerilyawan dan telah berjanji untuk menyambut para pengungsi itu kembali.
Namun PBB mengatakan kondisinya belum tepat untuk kembali.
Rohingya mengatakan mereka menginginkan jaminan atas keselamatan mereka dan diakui sebagai warga negara sebelum kembali – sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan karena Myanmar tidak menganggap mereka sebagai warga negaranya sendiri.
Sultana mengatakan kurangnya harapan di kamp-kamp tersebut telah meningkatkan perdagangan manusia dan ia meminta Bangladesh untuk menindak kejahatan tersebut. Catatan polisi menunjukkan lebih dari 100 orang Rohingya diselamatkan tahun ini saja.
“Orang-orang di kamp-kamp takut berbicara tentang para penjahat yang terlibat dalam perdagangan karena mereka jelas tidak ingin dibunuh. Ada perasaan takut,” katanya.
“Juga sulit untuk menghentikan perdagangan karena ini adalah komunitas yang sangat membutuhkan kehidupan yang lebih baik.”
Sultana mengatakan proyek berikutnya akan fokus pada membantu orang-orang muda di kamp-kamp untuk mempertahankan identitas Rohingya – masalah yang diperdebatkan karena Myanmar menolak bahkan menggunakan nama itu.
“Departemen Luar Negeri AS mengakui saya sebagai Rohingya. Ini adalah hal yang sangat besar tekarena diakui sebagai Rohingya adalah aspek yang telah lama hilang di arena internasional,” pungkasnya. (Althaf/arrahmah.com)