JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam kunjungannya ke Indonesia, seorang warga Gaza bernama Anas Abu Mush’ab al-Yajizy berkesempatan menuturkan kisah mengenai kondisi umum keluarga-keluarga di kotanya.
Menurutnya, setiap rumah di Gaza memiliki setidaknya seorang anggota keluarga yang menjadi korban luka, cacat, atau meninggal dunia akibat konfrontasi dengan Zionis Yahudi.
Dia memulai cerita dengan kejadian yang menimpa keluarganya. Ayahnya ditahan serdadu Zionis sejak dirinya masih dalam kandungan. Hingga menginjak 4 tahun, ayahnya bebas dari penjara Zionis dan Anas pun tumbuh dengan didikan al-Quran.
Namun pada 2018 lalu, Anas mesti mengikhlaskan kehilangan ayahnya yang menjadi korban jiwa ketika mengikuti Aksi Kepulangan Akbar (The Great Return March) yang hingga saat ini terus digelar oleh penduduk Gaza di daerah perbatasan.
Pada 2014 lalu, ketika Zionis Yahudi melancarkan agresi besar-besaran ke Gaza, Anas mengalami kejadian yang mengubah hidupnya selamanya.
“Ketika itu saya sedang di rumah bersama seorang teman. Kemudian tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari perbatasan. Dan ternyata itu rudal yang ditembakkan dari tank-tank Zionis. Rudal itu kemudian menghantam menghancurkan rumah saya,” tutur Anas di hadapan jamaah Masjid Quba, Tangerang, selepas shalat Jumat (8/3).
Pada acara yang diinisiasi oleh Komunitas Pecinta al-Aqsho (KPA) itu, Anas menceritakan, temannya yang saat itu masih bercengkerama dengan dirinya syahid saat itu juga.
Meski dia selamat dari serangan itu, Anas kehilangan kaki sebelah kanannya, mengalami patah-patah tulang di sekujur tubuhnya, luka bakar, dan luka-luka lainnya.
Tidak mudah bagi dirinya untuk memperoleh penanganan medis mengingat minimnya suplai medis di Gaza saat itu yang tengah dikepung Zionis.
Meski dirinya kini menjadi penyandang disabilitas, kondisinya itu tak menyurutkan semangatnya untuk meladeni segala bentuk penindasan Zionis Yahudi.
Sewaktu-waktu temannya bertanya, “Mengapa dengan kondisi seperti itu masih ingin turun ke perbatasan dalam Aksi Kepulangan Akbar?”
“Apa yang akan saya jawab ketika Allah bertanya apa yang saya perjuangkan, sedangkan saya masih bisa hidup, makan, dan bernapas? Sebelum saya mati dalam keadaan syahid saya akan terus berjuang,” ucapnya.
Menurutnya, di dalam hati penduduk Gaza telah tertanam ketulusan dan keikhlasan dalam berjuang.
Karena itu sebabnya, meski hanya bermodalkan batu, layangan, atau ketapel, hal itu tidak membuat warga Gaza bosan dengan moncong senjata, sniper atau tank lapis baja Zionis Yahudi.
“Kami melakukannya bukan hanya untuk bertahan dan memperjuangkan hak-hak kami. Tapi impian kami lebih jauh dari itu. Yakni untuk mati syahid dan mendapat gelar di sisi Allah sebagai orang-orang yang membela Al-Aqsha,” ungkap Anas.
(INA News Agency)