BANDA ACEH (Arrahmah.com) – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sedang digodok di DPR RI masih menjadi perdebatan panas akhir-akhir ini. Rencananya, RUU tersebut akan disahkan pada Maret sebelum berlangsungnya Pemilihan Umum 2019.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi VII DPR Aceh (DPRA) Ghufran Zainal Abidin menegaskan masyarakat harus menolak RUU ini karena bertentangan dengan Pancasila dan agama.
Ia menilai, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berpotensi membuka ruang sikap permisif terhadap seks bebas dan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
“RUU ini harus ditolak oleh masyarakat luas karena menyimpan potensi keburukan yang sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia,” kata Ghufran di Banda Aceh, Selasa (12/2).
“Aceh sebagai provinsi dengan keistimewaan khusus syariat Islam harus bersuara lebih kencang agar RUU itu tidak disahkan,” tandasnya.
Ghufran juga mengajak masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar lima juta jiwa itu untuk menolak RUU tersebut karena tidak sesuai dengan semangat dan kultur Masyarakat Aceh.
“Umat Islam harus menolak RUU itu,” kata Ketua Komisi yang membidangi Agama dan Budaya di Parlemen Aceh.
“Saat ini masyarakat juga sudah mulai bersuara keras untuk menolaknya bahkan sudah pula membuat petisi. Aceh menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia yang menuntut agar Indonesia terjaga dari dekadensi moral,” pungkasnya.
Menanggapi polemik ini, Wakil Ketua Umum MUI Prof Yunahar Ilyas juga mengatakan agar pemerintah dan DPR menunda pengesahan RUU P-KS sebelum RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) rampung.
Menurut Yunahar, pihaknya menemukan masih banyak permasalahan di dalam materi RUU PKS, mulai dari pendataan filosofis, paradigma, hingga benturan dengan undang-undang lain.
(ameera/arrahmah.com)