WASHINGTON (Arrahmah.com) – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa negaranya akan keluar dari Suriah yang “berpasir dan mematikan” perlahan “dalam kurun waktu tertentu”, lansir Al Jazeera pada Kamis (3/1/2019).
Trump juga mengatakan pada Rabu (2/1) bahwa negaranya akan melindungi para pejuang Kurdi yang didukung AS di Suriah, tanpa memberikan jadwal penarikan pasukan AS.
Pemimpin AS mengumumkan keputusannya untuk menarik diri dari negara itu bulan lalu bertentangan dengan saran dari para asisten keamanan nasionalnya dan tanpa berkonsultasi dengan anggota Kongres AS atau para sekutunya yang juga berperang di Suriah.
Langkah itu mendorong Menteri Pertahanan Jim Mattis untuk mengundurkan diri tak lama setelah itu.
Dalam sambutannya pada Rabu, Trump mengatakan ia pada dasarnya memecat Mattis, yang surat pengunduran dirinya dipandang sebagai teguran keras bagi presiden kubu Republik tersebut.
Selama pertemuan Kabinet di Gedung Putih di hadapan wartawan, Trump mengatakan dia tidak pernah menetapkan jadwal empat bulan seperti yang dilaporkan untuk penarikan 2.000 tentara Amerika yang ditempatkan di Suriah di tengah pertempuran melawan ISIL.
“Kami keluar dan kami akan keluar dengan cermat,” tutur Trump. “Saya tidak pernah mengatakan saya akan keluar besok.”
Dia menolak untuk secara spesifik tentang berapa lama pasukan akan tetap di Suriah.
Dalam beberapa hari terakhir, Trump tampak mengulur dari penarikan yang sebelumnya dinilai tergesa-gesa dan menekankan bahwa operasi akan melambat.
“Kami perlahan-lahan mengirim pasukan kami kembali ke keluarga mereka, sementara pada saat yang sama harus tetap memerangi sisa-sisa ISIS (Negara Islam),” katanya di Twitter, Senin (30/12/2018).
Senator Republik Lindsey Graham mengatakan dia keluar dari makan siang baru-baru ini dengan Trump merasa diyakinkan tentang kebijakan Suriah.
Graham mengatakan kepada wartawan bahwa Trump berkomitmen untuk memastikan Turki tidak bentrok dengan pasukan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) begitu pasukan AS meninggalkan Suriah dan meyakinkan sekutu NATO bahwa negara itu akan memiliki zona penyangga di Suriah untuk membantu melindungi kepentingan Turki sendiri.
Ankara memandang YPG sebagai organisasi “teroris” dan mengklaim kelompok itu merupakan perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang diklaim telah melakukan serangan terhadap tanah Turki sejak 1980-an, mencari otonomi.
Komandan AS yang merencanakan penarikan itu merekomendasikan agar para pejuang YPG yang memerangi ISIL diizinkan untuk menyimpan senjata yang dipasok AS, menurut pejabat Washington.
Usulan itu kemungkinan akan membuat Turki geram. Oleh sebab itu, penasihat keamanan nasional Trump, John Bolton, diperkirakan akan mengadakan pembicaraan dalam beberapa hari mendatang.
Trump mengatakan dia tidak senang bahwa Kurdi menjual minyak ke Iran, tetapi dia ingin melindungi mereka.
“Saya tidak suka fakta bahwa mereka menjual sedikit minyak yang mereka miliki ke Iran, dan kami meminta mereka untuk tidak menjualnya ke Iran … Kami tidak senang dengan hal itu. OK? Saya tidak senang sama sekali,” katanya.
“Meskipun demikian, kami ingin melindungi Kurdi. Kami ingin melindungi Kurdi, tapi saya tidak ingin berada di Suriah selamanya. Negara ini berpasir. Dan mematikan.”
Trump telah kritis terhadap administrasi sebelumnya yang mengirim dan menjaga pasukan AS di luar negeri, dan ia telah membawa pulang pasukan sebagai bagian dari kebijakan “America First” saat ia melihat tawaran pemilihan ulang pada tahun 2020. (Althaf/arrahmah.com)