Maskah bangun pada Sabtu malam karena suara perahu kayu yang terbelah di luar rumahnya di desa Sukaraja, Lampung Selatan.
“Saya tahu itu adalah tsunami, jadi saya berlari ke jalan di depan rumah saya dan melarikan diri ke pegunungan,” ungkap Maskah kepada Al Jazeera.
“Aku tidak membawa apa-apa, hanya pakaian yang kupakai.”
Penduduk desa lainnya mengikuti Maskah, banyak yang membawa anak kecil. Mereka berjalan lebih dari satu setengah kilometer menyusuri jalan berlumpur di Gunung Rajabasa menuju tanah terbuka yang disebut Kebun Damos.
Para keluarga tersebut menghabiskan malam meringkuk bersama di bawah pohon dan tidur di atas daun pisang.
“Saat itu hujan deras dan kami semua basah kuyup,” ujar Maskah yang berusia 39 tahun.
Tsunami yang dahsyat melanda provinsi Banten dan Lampung Sabtu malam, membunuh sedikitnya 430 orang. Erupsi gunung berapi Anak Krakatau di Selat Sunda dianggap sebagai penyebab gelombang besar yang melanda daratan.
Sekitar 16.000 orang kini mengungsi, termasuk banyak penduduk dari desa Sukaraja, yang tinggal dekat dengan garis pantai. Sebagian besar dari mereka takut pulang, khawatir tsunami akan menghantam desa mereka lagi.
Takut akan serangan gelombang lain
Pagi setelah tsunami, Maskah dan keluarga lainnya kembali ke rumah mereka untuk mengumpulkan pakaian dan barang-barang pribadi lainnya sebelum kembali ke wilayah aman di lereng gunung.
Mereka takut Anak Krakatau akan meletus lagi dan terlalu trauma untuk pulang.
“Suara itu di kejauhan bukan guntur,” ujar Ruminah yang juga berasal dari Sukaraja.
“Gunung berapi masih bergemuruh dan semakin keras. Anak Krakatau masih aktif, jadi kita waspada.”
Makanan langka di kamp sementara hingga Rabu kemarin, penduduk belum menerima bantuan yang memadai dari pemerintah.
Hingga lima keluarga tidur di tenda-tenda yang dibangun oleh penduduk desa menggunakan terpal dan kelambu.
“Di malam hari, kami tidak bisa tidur,” kata Ruminah.
“Kami khawatir akan ular dan laba-laba. Tadi malam, seekor kelabang besar masuk ke dalam tenda kami. Dan disini sangat dingin.”
Keluarga mengatakan mereka membutuhkan pemerintah untuk mengirimkan tenda yang tepat, serta selimut dan peralatan memasak. Saat ini, mereka membuat api dari kayu yang ditemukan di hutan, untuk menyiapkan makanan mereka.
Meskipun warga dan badan amal setempat telah menyumbang kerupuk, mie instan, dan air, persediaan tidak cukup untuk memberi makan kelompok yang terdiri dari lebih dari 100 orang di kamp.
Sementara itu, keluarga yang kehilangan tempat tinggal telah mencoba mengambil makanan dari hutan dan sekitarnya, termasuk pisang yang belum matang yang direbus agar dapat dimakan.
Sulit mengirim bantuan
Seperti penduduk desa lainnya, Maskah dan Ruminah sangat kritis terhadap respon pemerintah terhadap bencana. Mereka mengatakan, itu mengecewakan, karena bantuan belum menjangkau mereka.
Kemarin, Jarco, perwakilan dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), sebuah organisasi pemerintah non-struktural, tiba di Kebun Damos untuk melakukan penilaian terhadap kebutuhan penduduk yang mengungsi.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa respon pemerintah yang lamban adalah karena sulit menjangkau daerah-daerah terpencil tersebut.
“Aksesnya sulit. Kami telah menawarkan warga kesempatan untuk berlindung di gedung sekolah menengah setempat, tetapi mereka tidak mau,” ujarnya seraya menambahkan bahwa ia berharap tenda akan tiba di kamp pada Rabu sore.
Sementara itu, warga lain telah berusaha mengisi kekosongan ini.
Hari Purnomo, seorang warga desa tetangga Rajabasa, sedang mengoordinasikan respon lokal terhadap para penduduk desa yang mengungsi sementara mereka menunggu bantuan pemerintah tiba.
Selain di kamp di Kebun Damos, ada beberapa kamp pengungsi lainnya dari desa-desa lain yang tersebar di sekitar Gunung Rajabasa.
Purnomo telah mengumpulkan sumbangan untuk dibawa ke kamp. Dia mengatakan pemerintah lokal hanya fokus pada distribusi bantuan di sepanjang pantai, sementara daerah yang lebih jauh ke pedalaman telah ditinggalkan.
Menurut Purnomo, sulit untuk memberikan bantuan kepada lebih dari1.000 orang dari wilayah pesisir di Lampung Selatan, yang telah mengungsi lebih jauh ke pedalaman di sepanjang lereng gunung.
“Saya sudah mencoba untuk berbicara dengan mereka dan meminta mereka untuk sedikit lebih jauh ke bawah gunung,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Sangat sulit bagi kami untuk membantu mereka dan membawa makanan atau persediaan lain karena tidak ada jalan di sini. Kami harus datang dengan sepeda motor dan kemudian berjalan kaki.” (haninmazaya/arrahmah.com)