Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
(Arrahmah.com) – Santri itu memuliakan dan menjaga kalimat tauhid. Bahkan simbol-simbolnya pun sangat ia hormati.
Dulu aku diajari, di langgar tempat aku mengaji, Al-Qur’an terjatuh sedikit saja, harus segera mengambilnya, menciumnya dalam-dalam sepenuh cinta dan menjunjungnya di kepala. Segala hal yang berhubungan dengan tauhid, hingga sesobek kertas bertuliskan kalimat thayyibah, terlebih berisi kalimat tauhid, akan dijaga sepenuh hati. Kalau ia terjatuh di lantai, segera dipungut dengan kedua tangan sepenuh takzim, untuk dipindahkan ke tempat yang tinggi.
Jangankan berupa kalimat tauhid yang sempurna, ada secarik kertas bertuliskan اَللّهُ atau مُحَمَّد pun, sudah cukup menjadi alasan untuk cepat-cepat memungutnya dan menempatkannya di tempat yang tinggi lagi mulia.
Anak-anak dididik untuk menjaga betul kalimat-kalimat itu. Memuliakan. Bahkan saat sedang bermain pun, anak-anak terlatih untuk tanggap; bergegas memungut jika menjumpai secarik kertas yang di dalamnya ada tulisan kalimat-kalimat mulia. Bahagia rasanya apabila berkesempatan untuk menyelamatkan secarik kertas itu. Bukan santri mereka yang mengabaikannya.
Sebegitu khawatirnya anak-anak tidak dianggap santri jika abai, sehingga mereka bersikap sigap setiap kali melihat simbol-simbol agama ini “terlantar”. Bahkan pada tingkat orang awam, sebegitu takutnya mereka kalau sampai dianggap tidak pantas disebut ummat Muhammad kelak di akhirat sehingga segala yang bertuliskan Arab pun akan dirawat dimuliakan dengan sungguh-sungguh, meskipun itu sebenarnya resep masakan. Ini memang salah, tetapi sikap ini lahir dari kecintaannya kepada agama.
Aku pun diajari bahwa tidak ada yang melecehkan Al-Qur’an dan kalimat tauhid kecuali #PKI dan aku diajari untuk tidak serampangan agar tidak tersesat menjadi PKI. Kakek pun bercerita tentang kekejaman PKI kepada kaum santri. Kemudian diceritakanlah pula kepada anak-anak itu kisah orang-orang yang sesat sesudah mendapatkan petunjuk dari Allah.
Hari ini aku mendengar, hari ini aku juga membaca tentang orang-orang yang dianggap santri tetapi melakukan perbuatan yang membuat jantungku mendidih. Sulit sekali mempercayai perbuatan amat sangat nista itu dilakukan oleh mereka yang masih mengenal air wudhu.
Airmataku jatuh, mengingat masa lalu yang kian menjauh. Aku dulu pernah belajar untuk bangga kepada Banser yang dikenalkan kepadaku sebagai Barisan Ansor Serba Guna. Ansor itu artinya penolong. Aku diajari, itulah penolong agama Allah. Penolong orang-orang beriman. Ataukah singkatan dan maknanya berlaku hanya untuk masa lalu? Sementara sekarang sudah berubah singkatannya?
Sungguh, aku tak perlu hari santri jika di hari itu mereka yang mengaku santri justru melecehkan kalimat tauhid. Apakah sedemikian besar kebencian mereka kepada kalimat tauhid?
(*/arrahmah.com)