NUSA DUA (Arrahmah.com) – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa alokasi dan cadangan bencana dalam APBN selama tahun 2000 hingga 2016 rata-rata mencapai Rp 3,1 triliun per tahun, sedangkan kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana nilainya per tahun mencapai Rp 22,85 triliun. Dengan demikian, masih ada gap sekitar 78 persen dari kebutuhan untuk memulihkan kondisi wilayah seusai gempa.
“Kadang kita harus mengalokasikan kembali anggaran yang tidak terlalu penting untuk anggaran bencana,” kata Sri Mulyani dalam dialog bertema Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana di Indonesia di sela-sela pertemuan tahunan IMF-World Bank Group di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018), lansir Jawa Pos.
Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, penanggulangan bencana itu sudah tidak bisa lagi terus mengandalkan dana APBN.
Selain anggaran terbatas, lanjutnya, mekanisme pencairan untuk pengajuan tambahan dana membutuhkan waktu sekitar dua pekan dan dianggap kurang fleksibel. Di sisi lain, kebijakan pembiayaan dan asuransi risiko bencana berpeluang menghasilkan dampak positif.
“Beban pendanaan seharusnya bisa dibagi antara pemerintah, swasta, dan komunitas. Aset kebanyakan tidak ada asuransi, penetrasi asuransi di Indonesia sangat minim,” ujarnya.
Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla (JK) mengatakan, negara kesulitan apabila semua anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana dibiayai APBN.
“Bencana terbesar tsunami Aceh kita berterima kasih. Tanpa keterlibatan UN dan World Bank, maka bencana di Aceh tidak bisa diselesaikan,” imbuhnya.
Dia mencontohkan, untuk gempa dan tsunami yang melanda Palu dan Donggala, Sulteng, total kerugian diperkirakan mencapai Rp 1,06 triliun hingga Rp 2,4 triliun.
“Sulteng ada 2 ribu sekolah hancur. Jembatan, bangunan pemerintah hancur, ada 60 ribu rumah yang harus direkonstruksi. Perlu anggaran yang besar. Untuk mengurangi itu, maka bicarakan solusi yang terhadap aset negara maupun masyarakat,” ungkapnya.
Alternate Vice Minister of Finance of Japan Yoto Ono mengatakan, ada beberapa pendekatan untuk menghadapi bencana. Salah satunya adalah fiskal dan infrastruktur.
“Infrastruktur yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap bencana bisa menghemat biaya. Kualitas bukan suatu kemewahan, harus ada upaya kebijakan untuk implementasi,” paparnya.
(ameera/arrahmah.com)