WASHINGTON (Arrahmah.com) – Konflik Afghanistan bisa mengalahkan Suriah sebagai konflik paling mematikan di dunia tahun ini, ujar para pengamat ketika serangan mulai melonjak tajam 17 tahun setelah invasi AS.
Penilaian tersebut sangat kontras dengan pandangan dari Misi NATO di Kabul, dan menggarisbawahi rasa putus asa di negara yang dilanda perang berkepanjangan.
Ini menunjukkan bahwa strategi Presiden AS Donald Trum yang banyak digembar-gemborkan untuk Afghanistan, sama saja seperti para pendahulunya, gagal memindahkan jarum di medan perang, ujar pengamat.
“Korban melonjak di Afghanistan…. bisa menjadikan Afghanistan sebagai konflik paling mematikan di dunia,” ujar Johnny Walsh, seorang pengamat Afghanistan di Institut Perdamaian Amerika Serikat seperti dilansir AFP pada Jum’at (14/9/2018).
“Kebayakan tahun telah menjadi ‘tahun paling penuh kekerasan’. Ini terus menjadi semakin buruk.”
Konflik Suriah, yang dimulai satu dekade setelah Afghanistan, telah merenggut nyawa 15.000 orang sepanjang tahun ini, menuurt Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).
Graeme Smith, seorang konsultan untuk International Crisis Group, mengatakan kepada AFP beberapa indikasi menunjukkan perang Afghanistan berada di jalur yang telah memakan lebih dari 20.000 nyawa, termasuk warga sipil dan kombatan.
Kematian warga sipil Afghanistan telah mencapai rekor 1.692 dalam enam bulan pertama tahun 2018, sebuah laporan PBB baru-baru ini menunjukkan.
Wakil juru bicara kementerian dalam negeri Nasrat Rahimi mengklaim 300-400 “pejuang musuh” telah dibunuh setiap pekan, namun enggan memberikan angka untuk kematian pasukan pemerintah.
Data untuk korban di kalangan pasukan pemerintah Afghanistan tidak tersedia untuk publik setelah Washington tahun lalu menyetujui permintaan Kabul untuk merahasiakan angka-angka tersebut.
Sebelum itu terjadi, menurut angka yang diterbitkan oleh SIGAR, terdapat lebih dari 5.000 korban tewas setiap tahun.
Korban tewas tahun ini untuk pasukan pemerintah bisa “mengerikan”, ujar Smith.
Jumlah korban tewas telah meningkat tajam sejak 2014, menurut angka-angka yang ditunjukkan oleh UCDP. Tahun ini, kekerasan telah dipicu oleh pemilihan parlemen yang tertunda lama yang dijadwalkan 20 Oktober dan upaya baru untuk melibatkan Taliban, dalam pembicaraan damai. (haninmazaya/arrahmah.com)