Bukan hal baru tentang banyaknya serdadu yang Amerika yang tewas dari Afghanistan. Mereka kembali dalam peti mati. Karena itu, dukungan masyarakat terhadap misi Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Afghanistan pelan-pekan mulai berubah.
Sejak pasukan NATO memperluas operasinya di Afghan tahun ini, situasi justru makin memburuk. Gagalnya misi terbesar yang pernah dilaksanakan NATO terus dihadang doktrin para anggota aliansi ini yang sulit direalisasikan.
Sebagian kalangan di Washington punya gagasan memperluas aliansi Transatlantik ini menjadi aliansi global dengan mengikutsertakan Jepang dan Australia.
Para pengamat menilai, jika NATO tidak menyediakan lebih banyak tentara dan sumber daya, Afghan bisa mengikuti jejak Iraq.
Banyak negara yang menyatakan keberatan memperluas kontribusinya. Ini membuat jauh lebih sulit menghadapi musuh. Pasukan Kanada, Belanda, AS dan Inggris bekerja keras di Afghanistan Selatan, tapi pasukan Prancis, Jerman dan Italia berpatroli di utara yang relatif lebih aman.
Baru-baru ini, The Times dengan nada kesal mengatakan di Eropa terlalu banyak negara yang lebih senang mengeritik ketimbang memberi kontribusi. Mereka menyatakan siap membantu stabilisasi Afghan, tapi tak mau bertindak melawan opini publik dan mendukung operasi AS.
Pejuang Taliban memang kalah perang, dan tak lagi berkuasa, tapi belum sepenuhnya kalah. Bahkan bikin keder AS dan NATO. Dari segi logistik militer, pejuang Taliban memang tak memiliki senjata canggih untuk menghadapi serangan udara. Kendaraan militer pun tak punya. Kalaupun masih punya sisa tank dan panser, tak mungkin mampu menghadapi senjata yang dimiliki AS dan NATO. Tapi jumlah tentara NATO yang pulang ke negaranya dalam peti mati kian bertambah.
AS dengan teknologi militer yang mampu mendeteksi segala hal yang ada di bumi, dan sistem pesawat mata-mata tak berawak, tentunya bisa tahu posisi dan kekuatan Taliban. Tapi puluhan ribu tentara AS dan Eropa yang ada tak mencukupi buat menghancurkan Taliban.
Galibnya, pejuang Taliban punya gaya menyerang dan bertahan dalam keterbatasan yang tak mudah diketahui AS dan NATO. Ketika menggulingkan pemerintahan Mohtar Syah Massoud, Taliban mendapat bantuan Pakistan. Kalau pasokan dari oknum di Pakistan terus berlanjut, maka tak mengherankan jika Taliban bisa menambah isi peti mati dari Eropa.
Pertemuan Tinggi
November lalu, pertemuan tingkat tinga para pemimpin Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Ibukota Latvia, Riga, sepakat untuk melonggarkan peraturan tentang penempatan pasukan di Afghanistan. Dengan kesepakatan ini, lebih 70 persen dari 32 ribu pasukan NATO yang berada di Afghanistan dimungkinkan untuk ditempatkan di lokasi mana saja di negara tersebut.
Dalam pertemuan itu sempat terjadi perpecahan di antara anggota NATO tentang penambahan pasukan di wilayah selatan Afghanistan yang merupakan medan pertempuran paling sengit. Jerman misalnya, menentang perluasan kehadiran NATO di sana.
Kanada, yang bertanggung jawab atas keamanan Provinsi Kandahar di wilayah selatan, mengeluh pihaknya memikul misi paling berbahaya di antara negara-negara NATO lainnya. Menlu Kanada, Peter MacKay, sempat mengatakan dukungan publik dalam negeri bagi partisipasi Kanada di Afghansitan bisa hilang jika negara NATO lainnya tidak memberikan pertolongan bagi pasukan Kanada di wilayah selatan. Kanada sejauh ini sudah kehilangan 44 personelnya. Sebanyak 36 di antaranya tewas tahun ini setelah pasukan NATO memasuki wilayah selatan pada musim panas lalu.
Sejumlah anggota NATO selama ini memang menunjukkan keengganan untuk menempatkan pasukannya di wilayah selatan. Sebelumnya, Presiden AS, George W Bush, mengecam para anggota NATO yang enggan memikul tugas berat bagi pasukannya.
Namun melalui kesepakatan tersebut, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol bersedia jika pasukan mereka dikirim ke lokasi mana saja di Afghanistan jika memang situasi membutuhkan. Selama ini, berdasarkan kesepakatan, penempatan pasukan dari negara-negara ini dibatasi pada wilayah-wilayah tertentu. [kr/rep/hid/cha]