YANGON (Arrahmah.com) – Pemerintah Myanmar telah menolak laporan PBB tentang pembunuhan massal dan pemerkosaan geng Rohingya, yang menyebut para pejabat Myanmar terlibat dalam tuduhan genosida atas kampanye mereka melawan minoritas Muslim.
Pada Rabu (29/8/2018), seorang juru bicara senior untuk pemerintah membantah temuan PBB, menyebut tuduhan itu salah, surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola negara melaporkan.
“Kami tidak mengizinkan FFM (Misi Pencarian Fakta PBB) untuk masuk ke Myanmar, itu sebabnya kami tidak setuju dan menerima resolusi yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia,” kata Zaw Htay di surat kabar.
Htay mengatakan Myanmar memiliki “nol toleransi untuk pelanggaran hak asasi manusia”. Ia menambahkan bahwa negaranya memiliki “kerangka tanggung jawab mengenai masalah hak asasi manusia.”
“Kami akan mengambil tindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia”, kata Htay.
Dia juga mengatakan negara itu telah membentuk Komisi Penyelidikan Independen sendiri dalam “menanggapi tuduhan palsu badan-badan PBB dan lembaga internasional lainnya”.
Berbicara di Jenewa pada Senin (27/8), Marzuki Darusman, ketua misi, mengatakan bahwa para perisetnya mengumpulkan bukti berdasarkan 875 wawancara dengan saksi dan korban, citra satelit, serta foto dan video yang diverifikasi.
Marzuki mengatakan bahwa korban adalah “di antara pelanggaran hak asasi manusia yang paling mengejutkan” yang ia temui.
Dia menggambarkan militer Myanmar telah menunjukkan tindakan penghilangan nyawa secara sengaja dan menunjukkan “tingkat ekstrim kebrutalan”.
“Kaum Rohingya berada dalam situasi penindasan sistemik dan institusional yang berat dari lahir sampai mati,” kata Marzuki.
PBB tidak sembarangan menerapkan kata “genosida”.
Penilaiannya menunjukkan kejahatan terhadap Rohingya dapat memenuhi definisi hukum yang ketat yang digunakan di tempat-tempat seperti Bosnia, Rwanda dan wilayah Darfur di Sudan.
Tim tersebut mengutip perkiraan “konservatif” dari kelompok bantuan Reporters Without Borders bahwa sekitar 10.000 orang telah tewas dalam kekerasan, tetapi para penyelidik luar tidak memiliki akses ke wilayah yang terkena dampak, membuat akuntansi yang tepat sulit dipahami.
Laporan PBB mengatakan jenderal-jenderal militer, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus menghadapi penyelidikan dan penuntutan atas “niat genosida” di negara bagian Rakhine utara Myanmar, serta kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang lainnya di negara bagian Kachin dan Shan.
Laporan itu menyebut militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, tetapi menambahkan bahwa lembaga keamanan Myanmar lainnya juga terlibat dalam pelanggaran tersebut.
“Militer tidak akan pernah membenarkan pembunuhan tanpa pandang bulu, pemerkosaan berkelompok, penyerangan terhadap anak-anak, dan pembakaran seluruh desa,” kata laporan itu.
“Taktik Tatmadaw konsisten dan tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya, terutama di negara bagian Rakhine juga di Myanmar utara.”
Di negara bagian Rakhine, ada bukti pemusnahan dan deportasi, tambah laporan itu.
PBB menambahkan ada “informasi yang cukup “untuk mengadili rantai komando militer”. (Althaf/arrahmah.com)