(Arrahmah.com) – Hitam. Gelap pekat membalut dusun Jorong, Desa Sembalun Bumbung, Kabupaten Lombok Timur. Setitik cahaya tersebar, di setiap tenda-tenda pengungsi. Malam itu, (16/8/2018), para pengungsi korban gempa Lombok hanya bisa berkumpul di terpalnya masing-masing.
Tak ada hingar bingar H-1 hari kemerdekaan. “17-an sekarang kami yasinan aja,” kata Iyuni, bocah kelas 1 SD Sembalun yang sekolahnya kini hanya menyisakan bangku-bangku kosong. Listrik yang byar-pet di pengungsian, membuat malam hari itu begitu gelap gulita.
Satu tenda pengungsian seluas 3 x 6 meter itu, bisa saja diisi 30 orang berjubel di dalamnya. Sunyi memang, tapi sesekali lantuan al Qur’an menyeruak dari sudut tenda itu. Hanya secuil cahaya dari senter, yang menemani bocah-bocah itu mengeja kalam suci.
Di masjid, mesin genset ditarik. “BRRRRRR……”
“Pet..” tiba-tiba mati. Shalat isya di Masjid darurat ramah gempa itu tetiba menjadi hening dan semakin syahdu. Beberapa warga masih melanjutkan bacaan al Qur’annya di masjid, sambil ditemani gemuruh genset yang terus menderu.
Malam itu, mungkin tak seperti desa- kampung – tempat lainnya di penjuru negeri ini. Tak ada paduan suara, tak ada malam gembira, tak ada lomba jelang 17 Agustus, tak ada hingar bingar meriahnya hari kemerdekaan Indonesia ke-73.
Ketika semburat fajar menyiram bukit dan gunung yang memagari Sembalun; Gunung Rinjani, bukit Nanggi, bukit Anak Dara, Pegasingan, Pelawangan, dan sekitarnya, semburat itu juga membelai pucuk tiang bambu.
Di atas tiang bambu sederhana itu, sehelai bendera merah putih berkibar. Tak jauh dari situ, di tengah ladang yang disulap menjadi lapangan, sebatang bambu dipasang tegak. Di sanalah, upacara sederhana itu terlakon.
Jangan tanya mengapa upacara tak dilakukan di sekolah. “Sekolahnya hancur, nggak bisa dipakai,” masih kata Iyuni, sahabat kecil kita.
Upacara itu, dilakukan dengan sangat sederhana. Para relawan dari berbagai daerah seperti Laz LMI, Sinergi Foundation, Santama (Santri Tanggap Bencana) segera berbagi peran dalam tim upacara. Ibu-ibu, anak- anak, remaja, pemuda, semua menyemut mengisi tanah lapang.
Sekretaris desa, Pak Jusman datang hadir menjadi pembina upacara yang sangat sederhana itu. Ibu-ibu dengan capingnya, anak-anak dengan sandal bututnya, para remaja dengan kaos belelnya datang.
Sederhana memang, tapi hari raya kemerdekaan itu begitu penuh makna bagi mereka.
Tomi, seorang warga Sembalun yang juga porter (pemandu) Gunung Rinjani bilang, kalau tahun ini tak ada orang yang berlomba-lomba untuk sekadar berfoto – untuk dibagikan di media sosial- di kaki bukit, danau, atau puncak Gunung Rinjani.
“Tahun kemarin bisa jadi ada 1000 orang lebih ke puncak, 5000 orang di kaki bukit. Setiap 17 agustus , bahkan tenda saja tak muat,” kata Tomi. Namun kini, Tomi menyaksikan pemandangan yang berbalik 180 derajat: gempa telah merubah segalanya.
Tak ada lagi orang –orang berebut bergaya di puncak gunung. Upacara warga Sembalun di kaki bukit Rinjani begitu sederhana, tapi sangat bermakna. Lihatlah, bagaimana seorang Ibu bernama Idam ini menatap haru, menyerapi upacara yang sederhana ini.
“Saya terharu,” katanya. Matanya berkaca-kaca, saat menyanyikan lagu ‘syukur’ saat bendera merah putih diturunkan menjadi setengah tiang untuk mengenangkan bencana gempa. Setiap tahun, kata Ibu Idam, 17 Agustusan dirayakan dengan sangat meriah.
Tapi tahun ini tidak. Warga merayakannya dengan sangat sederhana sekali. Pagi itu, merah putih berkibar setengah tiang di Sembalun. Pak Jusman, sekretaris desa mengingatkan warga bahwa momen kemerdekaan adalah momen warga kembali membangun desanya, dengan semangat.
Upacara ditutuh doa yang syahdu, dan lagu daerah sembalun. Sesudah itu, warga bersiap untuk shalat Jumat. Di masjid darurat, lagi-lagi, khatib shalat Jumat, ustaz Hardianysah mengingatkan kembali bahwa kemerdekaan.
Ia pun mengingatkan kemerdekaan dalam pandangan Islam, ialah ketika seorang hamba, benar-benar mentauhidkan Allah. Ia mengisahkan kisah sahabat Rib’i bin Amir ketika bersua panglima Persia Rustum.
“Allah telah mengutus kami untuk memerdekaan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan memerdekaan kezhaliman agama-agama kepada keadilan Al-Islam,”kata ustaz Hardi mengisahkan sahabat yang mulia ini.
Di tanah gempa ini, makna kemerdekaan menjadi sangat sederhana. Warga memaknainya dengan semangat untuk bangkit dan kembali membangun desanya.
“Walau kami susah, kami tetap ingin bangkit dan berbagi,” kata Tria, seorang petani –pengungsi- yang membagikan sayurannya untuk korban gempa di Kabupaten Lombok Utara.
Kata Tria, justru ketika kesulitan itulah, manusia harus semakin berbagi. “Justru ini adalah ujian keimanan kami, inilah makna kemerdekaan, keyakinan kepada Allah,” katanya.
Sayup-sayup, pekik merdeka kini menyeruak dari kampung ini. Kalimat takbir dan pekik merdeka saling bersahutan. “Merdeka..merdeka…Allahu Akbar…”
“Kami yakin dan kami masih memiliki Allah. Walaupun kami kesulitan, masih banyak saudara kami yang juga kesulitan di luar sana, dan insya Allah kami akan bangkit,” pungkas Tria. Kita doakan bersama-sama. Amin.
Reporter : Rizki Lesus/ INA News Agency
(ameera/arrahmah.com)