Oleh: Nur Syamsiyah (Aktivisis Mahasiwi Malang Raya)
(Arrahmah.com) – Divestasi 51 persen saham Freeport oleh Pemerintah Indonesia sedang ramai diperbincangkan. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan McMoran Inc telah meneken pokok-pokok kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia. Dalam kesepakan ini Inalum akan menguasai 41,64 persen PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51 persen kepemilikan saham oleh pihak nasional, yang mana kepemilikan saham Indonesia sebelumnya hanya 9,36 persen.
Ada banyak isu dan komentar terkait kesepakatan tersebut, di mana KK (Kontrak Karya) Freeport akan berakhir 2021 (3 tahun yang akan datang) dan secara otomatis 100% Freeport kembali menjadi milik NKRI tanpa biaya. Namun, pemerintah justru mengambil langkah akuisisi 51% saham dan melakukan perpanjangan KK sampai 2041 (23 tahun lamanya) dengan biaya Rp 53 Triliun. Dengan kata lain, pemerintah diminta untuk membeli tanahnya sendiri dan diminta untuk berhutang apabila tidak ada dana yang mencukupi.
Ekonom Senior Indef Dradjad Wibowo pun menegaskan, sebetulnya pemerintah belum merebut kembali Freeport Indonesia, mengingat transaksi kedua pihak belum terealisasi. Dradjad juga menyampaikan bahwa itu hanya merupakan persoalan harga antara tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan PT Inalum), Freeport-McMoran Inc, dan Rio Tinto, yang sepakat pada harga US$3,85 miliar atau sekitar Rp 53 Triliun.
Dalam kutipan berita di Bloomberg, seperti disampaikan Dradjad, Freeport menyebutkan isu besar yang dimaksud, yakni hak jangka panjang Freeport-McMoran pada Freeport Indonesia hingga 2041 mendatang. Selain itu, butir-butir yang menjamin sang induk Freeport untuk tetap memegang kendali operasional anak usahanya tersebut, meskipun tidak memegang saham mayoritas.
Senada, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara menilai agaknya terlalu dini mengklaim kesuksesan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) atas divestasi Freeport Indonesia. Bahkan, dalam kesepakatan tersebut Indonesia tidak ada dalam pihak yang diuntungkan.
Marwan juga menyatakan bahwa tidak ada jaminan smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang) bagi Indonesia. Tidak ada jaminan pemerintah sebagai pengendali operator tambang Grasberg, dan tidak ada jaminan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang disebabkan. Jelas saja, kesepakatan itu tidak memberikan keuntungan bagi pihak Indonesia. Namun sebaliknya, Freeport akan menuai keuntungan yang sangat besar dari negeri yang disebut “tanah Surga” ini.
Di samping itu, Marwan menyebutkan bahwa klain pemerintah atas kesuksesan divestasi saham Freeport Indonesia sekadar pencitraan politik jelang Pemilihan Presiden 2019. Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais juga menyatakan bahwa divestasi saham yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah sebuah kebohongan.
Beginilah hidup di bawah sistem Demokrasi-Kapitalis. Sejumlah permasalahan terjadi akibat privatisasi, kekayaan alam negara ini mengalir ke luar negeri dan tangan individu tertentu. Pengambilan penguasaan tambang emas Freeport di Papua adalah suatu keharusan, sebab keberadaan gunung emas tersebut adalah kekayaan bangsa, sehingga harus digunakan untuk kesejahteran rakyat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memaparkan tentang konsep Islam dalam masalah kepemilikan ini (kekayaan alam). Dipaparkan bahwa Islam memiliki konsep kepemilikan secara jelas, salah satunya adalah kepemilikan umum.
Kepemilikan umum adalah izin Asy-syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda/barang. Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:
- Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dan lain-lain.
- Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dan lain-lain.
- Barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
Maka, sudah semestinya negeri ini kembali kepada kedaulatan syara’ dengan mengelola kepemilikan umum berupa tambang, migas, hutan dan sumber daya alam lainnya, yang hasilnya dikembalikan pada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
“Kerja sama” dalam mengelola tambang emas Freeport yang dilakukan antara Indonesia dan negeri Paman Sam tersebut tidak lain hanyalah buah dari imperialism dan kolonialisme, gaya penjajahan melalui pengerukan kekayaan alam di balik sebutan kata “kerja sama”. Hal ini menjadi “celah” bahaya laten bagi kedaulatan dan kemandirian sebuah negara.
Sudah saatnya bagi negeri ini meninggalkan sistem kerja sama ini. Sebab hal ini akan memuluskan agenda penjajahan negara adidaya terhadap negeri berkembang, seperti Indonesia. Maka, menjadi kewajiban untuk berlepas diri dari berbagai jenis kerja sama yang demikian, baik secara internasional maupun regional. Wallahu a’lam
*Penulis adalah Mahasiswi Magister Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Aktivis BMI Community Malang
(*/arrahmah.com)