JAKARTA (Arrahmah.com) – Rupiah masih lemah hingga penutupan perdagangan pada Senin (16/7/2018). Kurs USD/IDR kembali mendekati 14.400. Bahkan, ketika rupiah kembali ke Rp 14.200 per dolar AS, itu bisa dikatakan sebagai nilai stabil rupiah hingga akhir tahun. Nilai tukar rupiah di pasar spot pada Senin (16/6) ditutup pada Rp 14.394 per dollar AS, melemah 0,11% ketimbang akhir pekan lalu.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam mengungatakan, melemahnya nilai tukar rupiah yang terus menerus memberikan dampak terhadap utang BUMN. Ecky menilai, saat ini utang BUMN sudah sangat mengkhawatirkan.
Dia mengungkapkan, utang BUMN non lembaga keuangan tercatat 59 persen dalam bentuk mata uang asing dan 53 persen dipegang asing.
“Beban cicilan utang dan bunganya akan sangat membebani perusahaan,” kata Ecky, Selasa (17/7/2018), sebagaimana dilansir TeropongSenayan.
Menurut data Bank Indonesia (BI), jelas Ecky, hingga triwulan-I 2018, posisi utang BUMN non-lembaga keuangan saat ini mencapai USD 47,11 miliar dan mengalami lonjakan signifikan sebesar USD 7,1 miliar dalam dua tahun terakhir.
Jika mengacu pada kurs saat ini, lanjutnya, maka utang BUMN non-lembaga keuangan telah mencapai Rp 677 T. Dan jika digabung dengan utang lembaga keuangan publik termasuk bank-bank BUMN yang banyak membiayai proyek infrastruktur, total nilainya sangat fantastis yaitu sebesar USD 325,92 miliar atau Rp 4.682 triliun, atau bahkan lebih besar dari utang pemerintah.
“Lonjakan utang BUMN disebabkan oleh gencarnya pembangunan infrastruktur yang merupakan penugasan pemerintah. BUMN terpaksa harus menarik utang sebagai dana untuk ‘bisnis’ infrastruktur. Sayangnya, cash flow perusahaan relatif kurang sehat, karena munculnya mismatch antara kebutuhan pembayaran utang kepada kreditur dengan penyerataan modal dari pemerintah kepada BUMN yang bersangkutan,” papar Ecky.
“Selain itu tak jarang ternyata proyeksi demand-nya terlalu optmistik, seperti PLN yang sekarang mengalami over capacity, atau beberapa ruas tol yang relatif sepi pengguna,” tambah politikus PKS ini.
Akibatnya, lanjut Ecky, terjadi lonjakan rasio utang terhadap EBITDA atau pendapatan yang menggambarkan kemampuan sebuah perusahaan dalam membayar utang.
Rasio yang semakin tinggi memberi gambaran bahwa utang tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan.
Menurut lembaga pemeringkat S&P, dari 20 BUMN yang dianalisis, 16 BUMN memiliki rasio leverage yang terus meningkat, sedangkan rasio kecukupan arus kas melemah.
Ecky juga mengungkapkan, melambungnya utang semakin mengkhawatirkan karena bukan hanya memengaruhi keuangan perusahaan tetapi juga persepsi investor.
Lembaga pemeringkat dunia juga mewanti-wanti kondisi keuangan BUMN yang terlibat pada proyek-proyek penugasan pemerintah, jelasnya.
“Worst case scenario-nya adalah jika BUMN gagal bayar, maka pilihannya adalah rakyat harus mem-bail out (membayar utang) BUMN tersebut atau harus diprivatisasi dengan dijual kepada asing, termasuk melepas kepemilikan asset-asset BUMN yang dijadikan underlying proyek-proyek tersebut. Tentu sebuah bencana besar jika ini terjadi. Dan skenario terburuk ini mungkin terjadi jika pemerintah terus melakukan proyek infrastruktur dengan utang tanpa manajemen risiko yang baik,” pungkasnya.
Sumber: TeropongSenayan
(ameera/arrahmah.com)