HEBRON (Arrahmah.com) – Kepresidenan Palestina pada Jum’at (22/6/2018) memperingatkan bahwa agresi yang dilakukan pemukim Yahudi baru-baru ini di Masjid Ibrahimi di kota Hebron di Tepi Barat (Al-Khalil) bisa “mengubah konflik politik yang saat ini berkecamuk menjadi konflik agama.”
“Serangan pemukim baru-baru ini ke masjid dan pelaksanaan ritual Talmud di dalamnya memprovokasi sentimen umat Islam di seluruh dunia,” kata kepresidenan dalam sebuah pernyataan yang dilansir oleh kantor berita Palestina Wafa, seperti dilaporkan oleh Anadolu Agency (AA).
Dalam pernyataannya, presiden menganggap pemerintah “Israel” bertanggung jawab atas “perilaku agresif pemukim Yahudi dan semua konsekuensinya, terutama mengingat bahwa menteri keamanan dalam negeri ‘Israel’ juga terlibat langsung dalam aksi ini.”
Sebagaimana dilansir Daily Sabah, pada Kamis (21/6) malam, puluhan pemukim Yahudi, yang didukung oleh polisi “Israel”, memaksa masuk ke masjid, di mana mereka melakukan ritual Talmud dan mengadakan konser musik yang dihadiri oleh rabi senior Yahudi dan Menteri Keamanan Internal “Israel”, Gilad Arad.
Kompleks Masjid Ibrahimi di Hebron merupakan salah satu tempat suci yang diyakini baik oleh Muslim maupun Yahudi. Di dalam Masjid ini diyakini terdapat makam para Nabi, di antaranya adalah makam Nabi Ibrahim, Ishak dan Ya’kub.
Setelah pembantaian tahun 1994 oleh ekstremis Yahudi, Baruch Goldstein, yang menewaskan 29 jama’ah Palestina di dalam masjid, pihak berwenang “Israel” mempartisi kompleks masjid ke dalam dua wilayah Muslim dan Yahudi.
Hebron adalah sebuah kota dengan 160.000 penduduk Muslim Palestina dan sekitar 500 pemukim Yahudi yang tinggal di sejumlah daerah pemukiman Yahudi yang dijaga ketat oleh pasukan “Israel”.
Pemukiman adalah salah satu isu paling panas dalam upaya untuk memulai kembali perundingan perdamaian “Israel”-Palestina, yang dibekukan sejak 2014.
Masyarakat internasional menganggap semua permukiman “Israel” di wilayah Palestina adalah ilegal dan menjadi penghalang utama bagi perdamaian Timur Tengah.
Daerah, yang dirampas “Israel” pada tahun 1967, bukanlah wilayah “Israel” yang diakui dunia internasional sehingga warga Israel tidak memiliki hak untuk memiliki tempat tinggal di sana. Sekitar 500.000 warga “Israel” tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, wilayah yang juga menampung lebih dari 2,6 juta warga Palestina.
Kelompok pengawas “Israel” Peace Now melaporkan bahwa awal tahun ini pembangunan pemukiman telah melonjak sejak Trump menjabat sebagai Presiden AS, yang mengambil sikap lebih lunak dari pendahulunya.
Menurut laporan yang dikeluarkan oleh kelompok tersebut, sebelumnya pada bulan Maret, pembangunan pada tahun 2017 berkisar pada 2.783 unit rumah baru di Tepi Barat, meningkat 17 persen dari rata-rata tahunan sejak 2009. (Rafa/arrahmah.com)