JENEWA (Arrahmah.com) – Lebih dari 920.000 orang mengungsi di Suriah selama empat bulan pertama pada tahun 2018, ungkap Amerika Serikat pada Senin (11/6/2018).
“Kami melihat pengungsian besar-besaran di Suriah. Dari Januari hingga April, ada lebih dari 920.000 orang yang baru mengungsi dari rumah mereka,” Panos Moumtzis, koordinator kemanusiaan regional untuk Suriah, mengatakan kepada wartawan di Jenewa, seperti dilansir Daily Sabah.
“Ini adalah jumlah pengungsi tertinggi dalam waktu singkat yang terjadi sejak konflik Suriah dimulai,” katanya.
hal tersebut membuat angka penduduk Suriah yang terlantar naik menjadi 6,2 juta orang, sementara masih ada sekitar 5,6 juta pengungsi Suriah di negara-negara tetangga, menurut data statistik yang dimiliki AS.
Moumtzis mengatakan sebagian besar pengungsi terpaksa melarikan diri akibat eskalasi besar-besaran yang dilakukan rezim Syiah Asad di Ghautah Timur dan provinsi barat laut Idlib, yang hampir seluruhnya dikuasai oleh kelompok pejuang oposisi Suriah.
Dunia kembali memusatkan perhatian mereka ke Idlib setelah beberapa serangan udara mematikan telah dilancarkan di Idlib dalam beberapa hari terakhir, sehingga menyebabkan puluhan orang tewas, termasuk anak-anak.
PBB menunjukkan bahwa Idlib adalah bagian dari perjanjian de-eskalasi untuk Suriah yang dicapai antara Turki, Rusia dan Iran. PBB juga memperingatkan konsekuensi mengerikan jika provinsi, yang dihuni sekitar 2,5 juta penduduk, tenggelam dalam konflik besar.
Lebih dari 350.000 orang tewas dalam perang Suriah yang dimulai pada 2011 dengan adanya serangan brutal dari rezim Syiah Asad terhadap para demonstran anti-rezim.
Namun Moumtzis mengatakan “kekhawatiran kami adalah jika bukan karena situasi di Idlib, kami mungkin tidak melihat krisis terburuk di Suriah.”
Dia mengatakan dunia harus “memastikan bahwa kita tidak melihat skenario yang sama seperti yang kita lihat di Ghouta timur” yang direbut kembali pada bulan April oleh rezim Syiah Asad setelah serangan besar-besaran yang dilancarkan selama dua bulan penuh.
“Kami khawatir bahwa kami benar-benar akan melihat 2,5 juta orang menjadi semakin terlantar menuju perbatasan Turki,” katanya.
Setelah serangan di Aleppo, yang kemudian disusul dengan serangan di Ghautah Timur, para pejuang oposisi dan warga sipil dengan terpaksa harus dievakuasi ke Idlib.
Tetapi bagi orang-orang Idlib, “tidak ada Idlib lain yang membawa mereka keluar,” kata Moumtzis.
“Sungguh, ini adalah lokasi terakhir. Tidak ada lokasi lain untuk memindahkan mereka lebih jauh.” (Rafa/arrahmah.com)