JAKARTA (Arrahmah.com) – Meski mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, baik dari tanah air maupun dari luar negeri yang anti penjajahan Israel, Katib Aam PBNU yang juga menjadi Angota Dewan Pertimbangan Presiden, Yahya Cholil Staquf, tetap mengunjungi Israel.
Yahya Cholil Staquf menjadi pembicara dalam acara American Jewish Comttee (AJC) Global Forum di Israel pada Ahad (10/6/2018).
Pihak AJC Global telah menayangkan video obrolannya dengan Yahya melalui saluran YouTube mereka pada Ahad (10/6/2018).
Dalam video tersebut, Yahya tampak membahas mengenai Gus Dur, Islam dan Yahudi, dan sama sekali tak menyinggung soal Palestina seperti yang dinantikan banyak pihak.
Oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh Yahya akhirnya menuai kontroversi dan kekecewaan dari berbagai pihak, termasuk para tokoh di Indonesia, Hamas, hingga aktivis kemanusiaan di Gaza.
Tanggapan juga datang dari Diplomat sekaligus mantan wartawan senior, Hazairin Pohan, SH. MA yang pernah bertugas sebagai Duta Besar di beberapa negara, sebagaimana dikutup dari akun Facebooknya, Haz Pohan, sebagai berikut:
BERBEDA dengan klaim bahwa kunjungan Sekjen PBNU KH Yahya Cholil Staquf ke Israel memenuhi undangan The David Amar Worldwide North Africa Jewish Heritage Center, Yerusalem (13/6), ternyata anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu sama sekali tidak berbicara tentang dukungan kemerdekaan Palestina apalagi menawarkan gagasan baru usulan untuk membantu penyelesaian konflik Israel-Palestina, bahkan kehilangan nyali untuk mengeritik kekejaman rejim Zionis itu.
Di tengah-tengah tekanan Uni Eropa, PBB, dan organisasi perjuangan pendukung Palestina, termasuk kalangan pejabat pemerintah, olahragawan, seniman terhadap pembunuhan ratusan rakyat tak berdosa sebagai buntut dari pemindahan Kedubes Amerika Serikat ke Yerusalem baru-baru ini keoada Israel, kunjungan Staquf yang diklaim bukan mewakili Pemerintah R.I. itu, tetap counter-productive bagi kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia yang selama ini konsisten mendukung sepenuhnya perjuangan bangsa Palestina untuk kemerdekaan di tanah mereka sendiri.
Ketika ditanya seorang teman, saya mengatakan:
“Indonesia suffers from diplomatic setbacks, ignoring the fact that Israel’s policy reflects blatant violation of human rights and UN resolutions, killing innocent people in Palestine. [Staquf’s] visit reflects not only our insensitivity to the world and the people of Indonesia to action Israel, but more sadly if the world concludes that Indonesia is now subjugated under Israeli propaganda and the visit is used as a justification for Israel’s cruel acts against the Palestinian people recently, and I would not condone it.”
(Indonesia menderita kemunduran diplomasi, mengabaikan fakta bahwa kebijakan Israel melanggar hak asasi manusia secara terang-terangan dan berbagai resolusi PBB, membunuh orang-orang tak berdosa di Palestina. Kunjungan Staquf sendiri mencerminkan tidak hanya ketidaksensitifan kita kepada dunia dan rakyat Indonesia terhadap tindakan Israel, tetapi yang lebih menyedihkan jika dunia menyimpulkan bahwa Indonesia sekarang takluk di bawah propaganda Israel dan kunjungan itu digunakan sebagai pembenaran terhadap tindakan kejam yang dilakukan Israel atas rakyat Palestina baru-baru ini, dan saya tidak dapat membenarkan kunjungan tersebut.)
Kesimpulan itu saya ambil dari observasi terhadap rekaman video yang tersebar luas tampak dalam format talk show, di mana Staquf menyampaikan statement sumir dan dangkal, sama sekali tidak mencerminkan sikap Indonesia yang konsisten membela perjuangan bangsa Palestina.
Melalui Twitter, saya menyampaikan observasi sebagai berikut:
“Staquf failed even to mention a single word of ‘Palestine’, let alone to advocate the legitimate rights of the Palestine to freedom and independence on their own land and crticize the flagrant violation of human rights by the Israeli in the occupied land and the plights of Palestine.”
(“Staquf gagal bahkan untuk menyebutkan satu kata ‘Palestina’, apalagi untuk mengadvokasi hak-hak sah Palestina untuk kebebasan dan kemerdekaan di tanah mereka sendiri dan menentang pelanggaran hak asasi manusia yang kejam oleh Israel di tanah yang diduduki dan kesengsaraan Palestina.)
Ada beberapa poin keberatan saya atas kunjungan Sekjen Staquf itu.
Pertama, insensitivitas terhadap penderitaan rakyat Palestina dan protes dunia kepada Israel, bahkan oleh negara-negara Uni Eropa, telah membantah klaim kita selama ini sebagai negeri berpenduduk terbesar Muslim di dunia yang berada di pihak rakyat Palestina. Pernyataan Pemerintah R.I. selama ini menjadi batal dan ini perlu penjelasan kepada rakyat dan dunia mengapa kita kini berada di pihak Israel dan secara konyol membiarkan Indonesia sebagai alat propaganda negara Yahudi itu.
Kedua, timing-nya apakah tidak bisa ditunda, atau memang Pemerintah ingin mengirim pesan gestur persahabatan dengan Israel di tengah kekejaman pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina. Belum kering darah pejuang Palestine tumpah mempertahankan kemerdekaan, harga diri dan martabatnya, Indonesia mengirim wakilnya bertemu dengan pejabat Israel.
Ketiga, secara prosedural Wantimpres itu resmi jabatan negara. Sebagai pejabat negara dan bahkan warganegara sekalipun wajib mematuhi UUD 1945 dan UU terkait (seperti UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri) ketika memasuki zona hubungan internasional. Di luar ini, maka telah terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menentang penjajahan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Keempat, dari segi keprotokolan bahwa selama seseorang memegang jabatan pemerintah atau negara maka jabatan itu melekat menjadi wakil negara dalam kegiatan diplomatik atau hubungan antar-negara. Karena itu, meskipun dalam kapasitas pribadi seorang diplomat dilarang oleh Menlu untuk berhubungan dengan wakil pemerintah Israel. Diplomat hanya diperbolehkan berhubungan setelah mendapat izin dari Menlu.
Kelima, pelanggaran terhadap prinsip politik luar negeri bebas dan aktif dan kebijakan luar negeri R.I. yang di satu pihak tidak mengakui keberadaan Israel, dan di pihak lain mendukung perjuangan Palestina secara konsisten sejak 1947 sampai kini. Prinsip non-recognition baik de facto apalagi de jure dipegang teguh oleh Indonesia selama ini.
Kehadiran anggota Wantimpres Yahya Staquf, meskipun diklaim dalam kapasitas Sekjen NU, perlu diklarifikasi oleh Pemerintah R.I. karena ini dapat ditafsirkan dunia bahwa kehadiran seorang penasehat Presiden R.I. itu memenuhi undangan pemerintah Israel adalah pengakuan de-facto terhadap eksistensi Israel.
Aku menyampaikan kesimpulan observasiku kepada teman tersebut:
“It would reflect a deviation from our consistent and full commitment to support the Palestinian struggle for independence in their legitimate land which is a pre-condition in determining our attitude whether or not Indonesia would recognize Israel.”
(Kunjungan ini mencerminkan penyimpangan dari konsistensi dan komitmen kita untuk mendukung penuh perjuangan kemerdekaan Palestina di tanah sah mereka yang merupakan prasyarat dalam menentukan sikap kita apakah Indonesia akan mengakui Israel atau tidak.)
“The ball is in the government’s court to respond to this issue,” kataku menutup pembicaraan.
Jakarta, 12 Juni 2018
Hazairin Pohan pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Polandia tahun 2006 hingga 2010. Dia juga pernah menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan bilateral dan multilateral sebanyak 200 kali.
(ameera/arrahmah.com)