WASHINGTON (Arrahmah.com) – Presiden AS Donald Trump akan menyelenggarakan ifthar (buka bersama) di Gedung Putih untuk pertama kalinya pada Kamis (7/6/2018), di mana sebagian besar respon warga Muslim Amerika menunjukkan keengganan mereka untuk menghadiri acara tersebut, disebabkan beberapa kebijakan dan retorika anti-Islam yang telah Trump ambil sehingga menyulitkan Muslim di negara tersebut.
Warga Muslim Amerika melihat hampir tidak ada upaya yang tulus dari pemerintahan AS untuk memperbaiki hubungan dengan komunitas Muslim di negara adidaya tersebut. Bahkan Trump dalam beberapa kali kesempatan selalu menggunakan retorika anti-Islam – dengan mengatakan “Islam membenci kita” – dan ia telah membuktikan kata-katanya tersebut dengan kebijakan-kebijakan yang menyudutkan Muslim.
Saat ini, Mahkamah Agung sedang mempertimbangkan tantangan hukum terhadap kebijakan “larangan perjalanan” yang diperuntukkan Trump bagi negara-negara mayoritas Muslim, seperti Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman.
Gedung Putih belum merilis daftar tamu yang diundang dalam acara tersebut, namun Sekertaris Pers Sarah Huckabee sanders mengatakan sekitar 30-40 orang akan hadir, sebagaimana dilansir Daily Sabah.
Menilik dari tahun-tahun sebelumnya, mayoritas tamu undangan yang menghadiri acara ifthar di Gedung Putih adalah mereka yang menjadi anggota terkemuka dari komunitas Muslim, termasuk di antaranya para sarjana, atlet dan eksekutif perusahaan. Namun banyak yang menduga bahwa acara tahun ini akan berbeda.
“Saya pikir acara itu hanya menunjukkan apresiasi simbolis bagi beberapa negara sekutu Amerika, khususnya negara Teluk,” kata Qamarul Huda, seorang mantan penasehat Departemen Luar Negeri tentang agama, kepada CNN.
Hoda Hawa, direktur kebijakan dan advokasi di Muslim Public Affair Council, sependapat dengan penilaian Huda. Dia mengatakan kepada New York Daily News bahwa acara tersebut kemungkinan untuk memudahkan “diplomasi” dengan negara asing.
“Tidak ada upaya dari Presiden ataupun pemerintahannya untuk menjangkau komunitas Muslim di negara ini,” ungkapnya.
Bahkan jika anggota komunitas diundang, maka kemungkinan hanya sedikit yang akan hadir.
“Saya tidak akan hadir jika saya diundang,” Dalia Mogahed, seorang direktur penelitian di Institute for Social Policy and Understanding, mengatakan kepada CNN.
“Menghadiri acara ini, terutama di bulan suci, yang menjadi momen untuk introspeksi dan menumbuhkan nilai spiritual, sangat tidak tepat menurut saya karena kehadiran kita akan tampak seperti dukungan kita terhadap pemerintah dan segala kebijakannya.”
Menurut survei Pew Research Center pada tahun 2017, mangungkapkan sebanyak 74 persen Muslim Amerika mengatakan Trump tidak ramah terhadap komunitas mereka dan sekitar dua pertiga mengatakan bahwa Trump membuat mereka khawatir.
“Kami tidak membutuhkan ifthar bersama. Sebaliknya, kami ingin mendapat rasa hormat yang akan sangat kami hargai,” kata kapelan Goergetown University Imam Yahya Hendi kepada CNN. “Jangan beri kami makan untuk kemudian kami ditusuk dari belakang.”
Hendi pernah menghadiri ifthar yang di selenggarakan mantan Presiden Barack Obama di Gedung Putih pada tahun 2009.
Banyak kelompok hak-hak sipil Muslim yang mendorong Muslim Amerika agar menolak untuk hadir dalam acara yang akan diselenggarakan pada Kamis (7/6) tersebut. Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) bahkan menggelar acara dengan judul “BUKAN Iftar Trump” di seberang jalan.
Direktur Urusan Pemerintah CAIR Robert McCaw mengatakan kepada CNN, “Tujuan dari acara ini adalah untuk berbagi di bulan Ramadhan dan buka puasa dengan orang lain, serta untuk menarik perhatian masyarakat dari kemunafikan iftar yang diselenggarakan Gedung Putih.”
McCaw mengutip penunjukan Trump dari beberapa pejabat keamanan yang telah menyatakan sentimen anti-Islam dan serangan verbalnya kepada komunitas Muslim sebagai alasan untuk melawan iftar tersebut. Ia mengatakan bahwa mereka mengharapkan dapat mengumpulkan orang lebih banyak dari pada Gedung Putih.
CAIR telah melaporkan bahwa “lonjakan serangan yang menargetkan Muslim dan anggota kelompok minoritas lainnya” meningkat tajam sejak Trump menjabat.
Salama kampanye kepresidenannya, Trump menyerukan untuk “penghentian total dan menyeluruh” bagi kaum Muslim yang memasuki AS. Sebagai Presiden, dia me-retweet video-video propaganda anti-Muslim yang diunggah oleh kelompok sayap kanan Inggris.
Dan, yang lebih buruk lagi, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota “Israel” yang merupakan penghinaan besar terhadap dunia Islam, di mana hal tersebut dirasa sangat menyakitkan oleh orang-orang Palestina dan Muslim di seluruh dunia.
Iftar bersama telah menjadi agenda tahunan Gedung Putih sejak pemerintahan Bill Clinton pada 1990-an. Bahkan setelah serangan 11 September 2001, di mana Islamofobia AS berada pada puncaknya, mantan Presiden George W. Bush mengadakan iftar dengan mengatakan, “Seluruh dunia terus mendapatkan manfaat dari keyakinan dan pencapaiannya.” (Rafa/arrahmah.com)