GAZA (Arrahmah.com) – Setelah hari paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir di Gaza, situasi kemanusiaan di Palestina semakin memburuk karena rumah sakit berjuang untuk mengatasi jumlah korban tewas yang tinggi dan semakin meningkat.
Pasien dengan luka tembak memenuhi bangsal dan lorong rumah sakit Gaza yang kewalahan, di mana puluhan korban lainnya masih menunggu dalam antrean operasi sehari setelah hari paling mematikan sejak perang Gaza 2014.
Pada Senin (14/5/2018), pasukan “Israel” menembak dan menewaskan 59 demonstran Palestina dan melukai lebih dari 1.300 orang, menjadikannya satu hari paling mematikan di Gaza sejak perang antara “Israel” dan Hamas dimulai pada 2014.
Dua lagi demonstran ditembak mati oleh pasukan “Israel” pada Selasa (15/5), sehingga total korban jiwa sejak akhir Maret menjadi lebih dari 100 orang, kata Kementerian Kesehatan, sebagaimana dilansir Daily Sabah.
Rumah sakit di Jalur Gaza telah merawat lebih dari 2.700 korban luka-luka, termasuk 1.300 korban luka karena tembakan, kata badan PBB di Jenewa. Juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tarik Jasarevic mengatakan blokade “Israel” yang telah berlangsung selama satu dekade di Jalur Gaza telah menciptakan kurangnya pasokan obat-obatan dan fasilitas kesehatan lain di Palestina.
Lebih dari 1.000 anak-anak telah terluka akibat serangan yang dilancarkan pasukan “Israel” di Jalur Gaza sejak demonstrasi yang dimulai pada 30 Maret, menurut data UNICEF kemarin. Beberapa mengalami cedera parah sehingga harus dilakukan amputasi.
“Kekerasan baru-baru ini telah memperburuk sistem kesehatan yang sudah lemah di Jalur Gaza, karena pemadaman listrik yang parah, kekurangan bahan bakar, obat-obatan dan peralatan medis lainnya,” kata UNICEF dalam sebuah pernyataan. “Fasilitas medis di Gaza sedang mengalami tekanan,” tambahnya.
Sebanyak dua juta penduduk Gaza telah hidup dalam kesulitan selama satu dekade terakhir. Mereka hidup di bawah kemiskinan, pengangguran, pemadaman listrik selama 22 jam sehari, dan larangan melakukan perjalanan dan perdagangan. Sebagian besar penduduk Gaza hidup bergantung kepada bantuan kemanusiaan.
UNICEF dan mitranya kemarin mengirimkan dua truk pasokan medis ke Jalur Gaza untuk sekitar 70.000 orang. Obat-obatan dan peralatan medis yang dikirimkan di antaranya antibiotik, larutan garam, dan semprit untuk perawatan luka.
Jumlah korban tewas yang tinggi memicu serangan diplomatik terhadap “Israel” dan kecaman atas penggunaan kekuatan militer yang berlebihan terhadap demonstran yang tidak bersenjata. Dewan Keamanan PBB memulai sidang pada Selasa (15/5) untuk membahas hal tersebut. Salah seorang utusan AS untuk Timur Tengah mengatakan, “tidak ada pembenaran untuk pembunuhan tersebut.”
Konfrontasi yang terjadi di perbatasan pada Senin (14/5) adalah puncak dari aksi protes selama berminggu-minggu yang menyerukan agar pengungsi Palestina dapat kembali ke kampung halaman mereka setelah 70 tahun terusir. Aksi protes tersebut juga untuk menentang perpindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. (Rafa/arrahmah.com)