PARIS (Arrahmah.com) – Sebuah manifesto yang diterbitkan di harian Perancis Le Parisien pada 21 April, yang ditandatangani oleh sekitar 300 intelektual dan politisi terkemuka termasuk mantan Presiden Nicolas Sarkozy dan mantan Perdana Menteri Manuel Valls, menuai kontroversi dan penolakan dari kalangan Muslim, bahkan dari kalangan Muslim moderat, lansir The Atlantis pada Kamis (3/5/2018).
Dengan alasan Al Qur’an menghasut kekerasan, ia bersikeras bahwa “ayat-ayat Al Qur’an menyerukan pembunuhan dan hukuman terhadap orang Yahudi, Kristen, dan orang-orang kafir akan dimarjinalkan oleh otoritas agama,” sehingga “tidak ada seorang Muslim pun yang layak merujuk pada teks suci untuk melakukan kejahatan.”
Manifesto ini dianggap sebagai seruan untuk mencabut teks paling suci bagi ummat Islam.
Meskipun upaya ‘reformasi teologis Islam’ di Perancis bukanlah hal yang baru (semua pemimpin agama terkemuka yang loyal pada Presiden Emmanuel Macron telah membuat rencana untuk merestrukturisasi Islam), namun menuntut agar ayat-ayat kitab suci Al Qur’an dihapuskan ini adalah hal yang lain sama sekali.
Manifesto itu datang sebulan setelah pembunuhan mengerikan atas Mireille Knoll (80), seorang korban Holocaust, ditikam hingga mati di apartemennya dalam suatu tindakan yang dianggap sebagai kejahatan anti-Semit.
Tahun lalu, Sarah Halimi (67), dipukuli sampai tewas dan terlempar keluar dari jendela, di tempat yang sama di mana Knoll tinggal.
Otoritas peradilan membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk melabeli kematian Halimi sebagai kejahatan anti-Semit.
Perancis merupakan rumah bagi komunitas terbesar Yahudi di Eropa. Sejak awal 2000-an, komunitas Yahudi Perancis menghadapi ketakutan akibat meningkatnya tindakan yang diklaim sebagai anti-Semit.
Para penanda tangan manifesto menyebutnya sebagai “anti-Semitisme baru”. Disebut “baru” karena tidak dilakukan oleh para aktivis sayap kanan, tetapi oleh Muslim Perancis. Mereka juga mengecam sikap penolakan pemerintah dan media untuk mengakui “anti-Semitisme Muslim” ini.
Manifesto ini menimbulkan kecaman langsung di kalangan Muslim di Perancis dan sekitarnya. Beberapa hari setelah dirilisnya manifesto ini, 30 imam dan ulama menandatangani surat balasan di Le Monde.
Observatorium untuk Islamofobia, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan pemerintah Mesir, menggambarkan manifesto tersebut sebagai “rasisme kebencian” yang membuktikan bahwa “Perancis bukan negeri yang terbuka bagi Islam”. Proposal untuk membatalkan ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an ini adalah yang paling kontroversial dari semua tindakan politik Perancis. (Althaf/arrahmah.com)