MALAYSIA (Arrahmah.com) – Ada lebih dari 62.000 Muslim Rohingya di Malaysia, mereka melarikan diri dari penganiayaan di kampung halaman mereka di Myanmar, tetapi tidak bisa menyelesaikan persoalan mereka, sebagaimana dilansir oleh Al Jazeera.
Shahjan Bibi (45) datang ke Malaysia dari Myanmar dengan perahu bersama enam anaknya empat tahun lalu.
Awalnya, dia enggan meninggalkan rumahnya di Maungdaw, negara bagian Rakhine.
“Di desaku, kehidupan berjalan sangat baik,” kenang Bibi. “Kemudian militer Myanmar mulai menyulitkan kami. Mereka memukuli kami, membakar rumah kami dan mengambil tanah kami.”
Bibi adalah seorang Rohingya, etnis minoritas Muslim di Myanmar yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan. Pemerintah Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh dan telah menganiaya mereka selama beberapa dekade.
Karena putus asa, dan menginginkan masa depan yang lebih baik untuk keluarganya, Bibi membayar seorang penyelundup untuk mengeluarkan mereka dari Myanmar. Suaminya tinggal di Malaysia pada waktu itu dan perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama yang akan membawa mereka ke sana.
Bibi ingat betapa mengerikannya laut ketika dia di atas kapal bersama keluarganya dan pengungsi lainnya. Perahu itu sempit dan hanya ada sedikit makanan dan air. Satu penumpang tidak selamat.
“Saya takut. Saya pikir saya bisa mati juga,” kata Bibi.
Kapal itu akhirnya tertambat di perairan Thailand. Dari sana, para pengungsi dibawa ke daratan Thailand sebelum dipindahkan ke Malaysia.
Bibi dan anak-anaknya berakhir di Alor Setar, ibu kota negara bagian Kedah di Malaysia Utara.
Lebih dari 62.000 Rohingya tinggal di Malaysia. Beberapa sudah ada di sana selama bertahun-tahun. Banyak yang memilih ke sini karena ada beberapa titik untuk masuk ke Malaysia dari Thailand, yang sering menjadi bagian dari rute transit dari Myanmar.
Keluarga itu menyewa sebuah rumah kayu bobrok di sebuah desa di luar kota.
Tiga putranya melakukan pekerjaan sampingan untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari. Tetapi tanpa status hukum, mereka hanya mampu mengambil pekerjaan kasar dan rentan terhadap eksploitasi.
Malaysia bukan temasuk negera yang menandatangani Konvensi Pengungsi PBB, dengan demikian Malaysia tidak dapat memberikan perlindungan kepada pengungsi. Pengungsi tidak dapat bekerja secara legal atau mengakses layanan publik seperti sekolah pemerintah.
Kekhawatiran terbesar bagi Bibi, yang memiliki masalah kesehatan, adalah anak-anaknya.
“Sekarang suamiku tidak lagi di sini, aku tidak tahan memikirkan apa yang akan terjadi pada mereka jika aku pergi juga.”
Namun, tidak semua cerita pengungsi suram.
Setelah 17 tahun di Malaysia, Sixullah Bin Shuna Miah (33) akhirnya pindah ke negara ketiga – Selandia Baru.
Aplikasi suakanya disetujui saat ia mengajukannya untuk yang ketiga kalinya.
“Saya tidak berencana untuk mendaftar. Saya merasa nyaman dengan kehidupan di sini, tetapi saya memikirkan anak-anak saya. Masa depan seperti apa yang akan mereka miliki jika kami terus tinggal di sini,” kata Miah.
Dia ingin anak-anaknya, yanh berusia enam hingga 11 tahun, bisa mendapatkan pendidikan dan kesempatan untuk mewujudkan impian mereka.
“Anak laki-laki tertua saya ingin menjadi anggota polisi. Putra kedua saya ingin menjadi insinyur. Dan putri bungsu saya mengatakan dia ingin menjadi seorang guru.” ujar Miah. (Rafa/arrahmah.com)