EROPA (Arrahmah.com) – Laporan baru-baru ini dari Yayasan Penelitian Politik, Ekonomi dan Sosial (SETA) tentang Islamofobia mengatakan bahwa Islamofobia adalah fakta yang tak terbantahkan di Eropa. Sementara kalangan intelektual Eropa masih membahas pertanyaan apakah Islamofobia ada atau tidak dan apa yang diliputnya, laporan mengatakan bahwa kebencian terhadap Islam dan para pengikutnya sedang meningkat tajam sebagaimana dijelaskan melalui angka dan statistik di lebih dari 30 negara.
Disusun oleh Enes Bayrakli dan Farid Hafez, laporan setebal 729 halaman yang dapat ditemukan secara lengkap di situs SETA, termasuk Laporan Islamofobia Eropa (EIR) berdasarkan negara mengenai kejahatan Islamofobia. Laporan tersebut yang menganggap munculnya partai-partai sayap kanan sebagai ancaman penting bagi demokrasi, mengatakan bahwa Islamofobia meningkat di Eropa sebagai akibat dari politisi sayap kanan dan partai-partai yang datang dari pinggiran.
“Pertama, kubu politik sayap kanan telah bergerak dari pinggiran ke pusat dan menjadi bagian integral dari lanskap politik di Eropa,” ujar laporan seperti dilansir Daily Sabah pada Selasa (3/4/2018).
Sementara sebagian besar partai sayap kanan masih menjadi oposisi, beberapa telah mendapatkan pengaruh besar dengan menjadi pihak pemerntah seperti dalam kasus Austria, Bulgaria dan Finlandia. Sementara yang lain mungkin masih menjadi oposisi, wacana Islamofobia mereka yang sangat penting bagi sebagian besar dari mereka, telah menjadi arus utama sejak isu-isu mereka telah dikooptasi oleh bekas partai politik sentris.
Meskipun partai sayap kanan ekstrim masih menjadi oposisi, retorika anti-Muslim mereka memiliki dampak yang cukup besar dalam membentuk masyarakat, menurut laporan itu. Laporan juga mengatakan bahwa politisi sayap kanan dari berbagai negara bekerja sama.
“Kami juga mengamati kerjasama yang lebih kuat dari berbagai partai Islamofobia di Eropa. Misalnya partai Ceko SPD menyelenggarakan pertemuan dengan perwakilan mitranya dari Parlemen Eropa pada Desember 2017 di Praha. Politisi seperti Geert Wilders dan Marine Le Pen termasuk di antara beberapa peserta,” kata laporan itu.
Meskipun laporan serupa pernah dipublikasikan oleh beberapa lembaga dan perusahaan survei, namun laporan tersebut tidak sebesar SETA dan tidak menyajikan gambar yang lebih besar. Selain mendapatkan manfaat dari laporan lain, EIR mempekerjakan 40 sarjana dan aktivis masyarakat sipil dari berbagai latar belakang di beberapa negara, termasuk hampir semua negara Uni Eropa. Selama persiapan untuk EIR, penulis berkolaborasi dengan lembaga lain dan perwakilan mereka.
EIR memiliki beberapa temuan kunci yang sangat luar biasa dan menakutkan bagi masa depan Muslim di Eropa, karena sejumlah besar individu telah mengalami diskriminasi atau ujaran kebencian.
“Seperti laporan yang berdasarkan survei terhadap 10.527 orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim yang diterbitkan oleh Badan Hak-hak Fundamental Eropa (FRA) mengungkapkan 76% responden Muslim merasa sangat terikat dengan negara dimana mereka tinggal, sementara 31% dari mereka yang mencari pekerjaan telah mengalami diskriminasi selama lima tahun terakhir,” ujar laporan.
Laporan juga mencatat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan sangat rendah. Menurut laporan itu, jumlah nyata serangan mungkin delapan kali lebih tinggi daripada yang tercatat, karena Muslim enggan pergi ke polisi karena beberapa alasan, termasuk bahwa korban mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang prosedur hukum di negara tempat tinggal mereka, korban memiliki kedekatan dengan pelaku, kurangnya kepercayaan korban pada pihak berwenang atau korban takut menjadi korban lagi oleh petugas polisi. Laporan itu juga mengatakan Islamofobia tidak dianggap serius dan tidak dianggap sebagai kejahatan kebencian di masyarakat Eropa.
“Penolakan atas keberadaan Islamofobia/rasisme anti-Muslim/kejahatan kebencian anti-Muslim di Eropa oleh banyak orang, menunjukkan perlunya upaya yang tepat dan kemauan politik untuk mengatasi rasisme yang dinormalisasi ini dan manifestasinya yang telah tertanam di masyarakat Eropa, lembaga dan negara bagian,” ujar laporan itu.
Laporan itu menambahkan bahwa para intelektual Eropa menganggap Islamofobia adalah istilah yang “diciptakan Muslim” untuk memblokir setiap diskusi tentang Islam. “Di negara-negara seperti Austria dan Norwegia, jurnalis yang memimpin dewan editorial mengalihkan fokus dari Islamofobia sebagai masalah menjadi Islamofobia sebagai ‘istilah pemberantasan’, dengan alasan bahwa istilah itu sendiri digunakan oleh Islamis untuk mendelegitimasi setiap perdebatan tentang Islam dan Muslim. Oleh karena itu ada keengganan untuk menggunakan istilah ‘Islamofobia’ di ruang publik.”
Muslim di sebagian besar negara Uni Eropa adalah minoritas yang paling didiskriminasi dan diserang. Misalnya di Denmark, 20 persen dari semua kejahatan kebencian yang dilakukan pada 2016 menargetkan Muslim, sementara kelompok itu membentuk 5 persen dari populasi umum, membuat Muslim menjadi minoritas yang paling ditargetkan.
“Di Austria, di mana ada ratusan serangan, 68 persen menyerukan kontrol ketat terhadap pembiayaan asing untuk Masjid, sementara 84 persen juga menginginkan kontrol ketat terhadap taman kanak-kanak Islam. 69 persen mendukung larangan hijab untuk para guru.” (haninmazaya/arrahmah.com)