Suha Salem mencoba untuk menyembunyikan rasa sakit dan kesedihannya, namun penderitaan yang menimpanya karena perang tiga tahun di Yaman, terukir di wajahnya.
Saat matanya beralih dari kiri ke kanan, konflik telah menghancurkan hampir seluruh lingkungan di ibu kota yang padat penduduk, ujarnya, dengan kematian dan kehancuran mengikuti setiap keluarga.
“Saudara laki-laki saya terluka oleh ranjau darat dan kaki kanan serta tangan kirinya diamputasi,” ungkapnya kepada Al Jazeera.
“Kerabat lain ditembak dan kini lumpuh.”
Kehilangan nyawa bagi warga sipil terus meluas, kata Salem, dan ia takut akan masa depan psikologis anak-anaknya.
“Saya tahu banyak orang yang kerabatnya terbunuh oleh tembakan dan serangan udara. Kesehatan psikologis dan fisik mereka sangat mengerikan. Bagaimana Anda menghibur seseorang yang kehilangan begitu banyak orang yang dicintai?”
Sejak 2014, Yaman telah dilanda oleh konflik multi-sisi yang melibatkan aktor lokal, regional dan internasional.
Houtsi, kelompok Syiah Zaidi yang menjalankan kerajaan di sana selama hampir 1.000 tahun, mengeksploitasi kemarahan meluas terhadap keputusan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi yang menunda pemilihan yang ditunggu-tunggu dan negosiasi yang macet mengenai konstitusi baru.
Kelompok tersebut berbaris dari benteng mereka di provinsi Saada hingga ke Sana’a, ibu kota Yaman, mengepung istana kepresidenan, menempatkan Hadi di bawah tahanan rumah.
Mendorong salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia dalam beberapa dekade, koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan intervensi militer pada Maret 2015, atas permintaan Hadi, setelah Houtsi terus menyapu wilayah selatan dan mengancam akan menaklukkan benteng terakhir pemerintah di Aden.
Sementara koalisi dan milisi lokal berhasil menangkis pengambilalihan Houtsi terhadap Aden, serangan udara yang dilakukan gagal untuk mengusir milisi Syiah Houtsi dari ibu kota Sana’a dan dan wilayah lain di Yaman.
Sebaliknya, lebih dari 16.000 serangan udara yang diluncurkan mengakibatkan korban sipil di mana pernikahan, fasilitas medis, pemakaman, tidak terhindar dari pemboman.
“Setiap kali kami pikir situasinya akan membaik, itu malah semakin buruk dan memburuk,” ujar Salem kepada Al Jazeera sambil mendesah sedih.
“Perang tidak membawa kebaikan bagi kami, koalisi Arab tidak melayani warga Yaman. Itu melayani kepentingan mereka sendiri.”
“Jika pihak yang bertikai peduli tentang Yaman, mereka harus membuat konsesi dan mengangkat kami dari penderitaan ini.”
Perempuan dihinakan
Ketika konflik memasuki tahun keempat, warga dan aktivis mengatakan kepada Al Jazeera pertempuran telah meningkatkan kerugian warga sipil di mana kaum perempuan yang paling menderita.
“Perang telah mempermalukan perempuan,” Afaf Al-Abara, jurnalis Yaman yang memfokuskan diri pada masalah kemanusiaan, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Perempuan telah mengungsi, mengalami trauma, bahkan terbunuh. Mereka telah terpapar pada bentuk kekejaman tertinggi dan ditargetkan oleh kedua belah pihak.”
Menurut Kementerian Hak Asasi Manusia Yaman, setidaknya 1.665 wanita telah tewas atau terluka sejak awal perang dengan kedua belah pihak secara rutin menolak akses mereka ke bantuan medis dan kemanusiaan.
Lebih dari 18 juta warga sipil saat ini dikepung oleh pertempuran, dengan sedikitnya 10 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan segera.
Mendapatkan informasi akurat tentang jumlah korban tewas sangatlah sulit, namun Save The Children memperkirakan setidaknya 50.000 anak meninggal dunia pada tahun 2017, rata-rata 130 anak setiap hari.
Penduduk mengatakan kepada Al Jazeera, biaya makanan dan bahan bakar meroket, dengan inflasi yang melonjak meninggalkan orang-orang miskin menjadi pihak paling rentan.
Berbicara pada peringatan ketiga perang Yaman, Geert Cappelaere, direktur regional Timur Tengah UNICEF mengatakan banyak orang tua yang putus asa terpaksa menikahkan anak perempuan mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
“Hampir 80 persen orang Yaman hidup dalam kemiskinan dan orang tua harus membuat pilihan sulit untuk mengirim anak-anak mereka menjadi pengemis, bekerja atau menikahkan mereka pada usia dini.”
Dalam sebuah survei di enam provinsi, UNICEF menemukan 75 persen responden perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dengan separuh dari semua gadis yang disurvei menikah sebelum usia 15 tahun.
Harapan hancur
Beberapa warga Yaman mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka optimis situasi mereka akan membaik, namun banyak yang mengatakan bahwa hanya ada sedikit prospek untuk perdamaian.
“Kami masih menunggu,” Ahlam Saleh, seorang lulusan SMA di Sana’a mengatakan kepada Al Jazeera.
“Saya lulus dari sekolah tahun lalu, dan saya pikir perang akan berhenti. Tapi itu masih mengamuk.Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, minggu depan atau dalam beberapa bulan mendatang.”
Seperti beberapa warga Yaman lainnya, ia pikir koalisi yang dipimpin Saudi akan mendorong Houtsi ke meja perundingan. “Harapan itu sekarang hancur,” ujarnya.
“Ternyata bahwa Houtsi lebih kuat dari yang kami harapkan setelah kematian mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, dan bahwa koalisi Saudi tidak serius dalam mengembalikan Yaman ke keadaan normal.”
Bersiap untuk kematian
Ahlam Othman, seorang ibu rumah tangga berusia 35 tahun di Sana’a, mengatakan kepada Al Jazeera: “Tidak ada pihak yang tertarik untuk mengakhiri tragedi yang terjadi di seluruh negeri. Ketika anak-anak saya bertanya apakah perang akan segera berakhir, saya hanya menjawab dengan In syaa Allah.”
Dengan pertempuran yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, Othman mengatakan terlalu sulit untuk menawarkan jawaban sederhana ya atau tidak.
“Setiap hari kami bersiap menghadapi kematian, dan ini adalah yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Setiap hari kami bersiap.” (haninmazaya/arrahmah.com)