NANGARHAR (Arrahmah.com) – Di jam-jam awal pada Sabtu (17/3/2018), ketika para petani menyiram tanaman mereka di provinsi Nangarhar, Afghanistan timur, satu unit pasukan keamanan dan intelijen Afghanistan melakukan serangan mematikan.
Setidaknya tujuh petani tewas dalam serangan di dua desa di distrk Chaparhar.
“Kami mendengar helikopter datang saat kami menyirami tanaman kami pada dini hari. Kami mendengar mereka sekitar pukul 4 pagi. Helikopter melepaskan tembakan tepat dua kali,” ujar Muhammad Razaq, seorang petani yang berada di lokasi kejadian saat serangan terjadi di Mano, salah satu dari dua desa yang diserang.
“Saya kehilangan dua sepupu saya dalam serangan itu,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Inayatullah berusia 16 tahun dan Riazullah berusia 15 tahun, lanjutnya seperti dilansir Al Jazeera pada Selasa (20/3/2018).
Menurut Razaq, para petani memberi tahu pasukan keamanan di pos terdepat terlebih dahulu bahwa mereka akan bekerja di ladang mereka.
“Mereka masih menyerang, tanpa mempertimbangkan bahwa orang-orang miskin dan tidak bersalah akan bekerja di sini,” katanya.
Beberapa kilometer dari tempat tersebut di desa Idyakhel, lima petani berada di dalam sebuah Masjid ketika pasukan boneka Afghanistan menerobos masuk dan mulai melepaskan tembakan, ujar saksi mata kepada Al Jazeera.
“Pasukan keamanan mungkin diberi tahu bahwa ada pejuang yang bersembunyi di Masjid,” ujar Muhammad, seorang saksi mata.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa 27 orang ditangkap dalam serangan itu.
“Kelima orang tersebut [di dalam Masjid] adalah petani yang biasa bekerja di pertanian dekat rumah saya,” ujarnya.
Ajmal Omar, seorang anggota dewan provinsi mengklaim kepada Al Jazeera bahwa serangan itu ditujukan pada pejuang Taliban (baca: Imarah Islam Afghanistan/IIA) yang bersembunyi di ladang dan di Masjid.
Ketika ditanya tentang korban sipil, ia menjawab: “Dalam serangan seperti ini, warga sipil yang terbunuh sangatlah mengganggu”.
“Kami telah memberi tahu pemerintah dan militer mengenai korban sipil beberapa kali di masa lalu, bahwa selama penggerebekan tersebut mereka harus memiliki informasi intelijen yang tepat untuk menghindari pembunuhan orang yang tidak bersalah.”
Saksi dan laporan media mengindikasikan bahwa pasukan khusus Afghanistan mungkin telah ditemani oleh penasihat koalisi NATO pimpinan AS selama serangan itu, namun pejabat boneka Afghanistan membantahnya. Mereka juga membantah penggunaan helikopter dalam operasi itu.
Untuk memprotes operasi militer itu, warga Afghanistan berkumpul di jalan-jalan di Chaparhar sambil mengusung jenazah korban dan menuntut jawaban.
Ketika mereka berdemonstrasi, polisi menembaki kelompok itu dan menewaskan satu orang serta melukai dua lainnya, ujar pengunjuk rasa kepada Al Jazeera.
Pada 31 Januari, pasukan khusus Afghanistan yang didukung serangan udara AS melancarkan serangan di distrik Maiwand di Kandahar yang diklaim menargetkan pejuang IIA. Dalam operasi itu, setidaknya 20 warga sipil tewas, menurut laporan Human Rights Watc (HRW) yang dirilis pada Februari lalu.
Para saksi yang dikutip dalam laporan itu mengatakan bahwa pasukan keamanan menyeret orang-orang dari rumah mereka dan menembaki mereka selama operasi.
“Secara ringkas, mengeksekusi orang-orang yang ditahan, apakah mereka pejuang atau warga sipil, adalah kejahatan perang. Investigasi penuh dapat mengungkapkan semua yang bertanggung jawab,” ujar Patricia Gossman, peneliti senior Afghanistan di HRW. (haninmazaya/arrahmah.com)