Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) –
عن عائشة قالت دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل عندكم شيء فقلت لا قال فإني صائم ثم مر بي بعد ذلك اليوم وقد أهدي إلي حيس فخبأت له منه وكان يحب الحيس قالت يا رسول الله إنه أهدي لنا حيس فخبأت لك منه قال أدنيه أما إني قد أصبحت وأنا صائم فأكل منه ثم قال إنما مثل صوم المتطوع مثل الرجل يخرج من ماله الصدقة فإن شاء أمضاها وإن شاء حبسها. (رواه مسلم والترمذي والنسائي وابن ماجه)
Dari Aisyah berkata:
Rasulullah ﷺ menemuiku pada suatu hari. Beliau berkata: Apakah kamu punya sesuatu?
Aku berkata: Tidak
Beliau berkata: Kalau begitu aku puasa
Suatu hari beliau menemuiku lagi dan aku baru mendapatkan hadiah Hais (jenis makanan yang terbuat dari kurma). Aku menyimpannya untuk beliau, karena beliau menyukainya.
Akupun berkata: Ya Rasulullah, kita diberi hadiah Hais dan aku menyimpannya untukmu.
Beliau berkata: Hidangkan. Sebenarnya aku pagi ini puasa.
Beliau pun memakannya kemudian berkata: Sesungguhnya perumpamaan puasa sunnah seperti seseorang yang mengeluarkan hartanya untuk shodaqoh, jika ia mau bisa ia teruskan niatnya (untuk bershodaqoh) atau jika ia mau boleh membatalkannya. (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Kisah pagi hari di keluarga Nabi ﷺ tersebut harus menghadirkan pelajaran mahal bagi keluarga muslim. Sangat banyak pelajarannya. Tapi saya hanya ingin menyoroti dua poin.
Pertama, ternyata seorang istri mempunyai cara sendiri untuk membahagiakan dan memuliakan suaminya. Yaitu dengan menyediakan makanan kesukaan suami. Bagi seorang istri hal ini begitu pentingnya. Maka, tak aneh kalau setiap pagi seorang istri berpikir keras apa yang akan dihidangkan hari ini untuk keluarganya. Berbagai menu terus dicari. Khawatir bosan, berbagai variasi pun dilakukan. Begitu pentingnya di hati seorang istri.
Seperti ibunda kita Aisyah. Karena Aisyah tahu persis bahwa suaminya, Rasulullah ﷺ, sangat menyukai jenis makanan yang bernama Hais, maka ketika Aisyah mendapatkan hadiah Hais ia teringat suaminya. Karena inilah makanan kesukaannya. Dan karena ini sesuatu yang besar dan penting di istri. Mungkin Aisyah ingin memakannya sampai habis. Tapi itu tidak dilakukannya. Karena ingat suami.
Tapi sayang, kami para laki-laki sering menganggap ini hal yang sederhana. Padahal ia begitu besar di hati istri. Akhirnya seorang istri yang telah lelah seharian memasak masakan istimewa bahkan ia telah menyiapkan rencana ini beberapa hari sebelumnya. Eh…suami pulang dan berkata: Aku sudah makan di luar.
Maaf, ya para istri. Kami para laki-laki sering tidak menyadari betapa pentingnya urusan makanan di hati para istri.
Kedua, Memakan makanan yang disediakan istri dengan istimewa lebih didahulukan dibandingkan puasa sunnah (wallahu a’lam). Seperti yang dilakukan Rasulullah di atas. Pagi itu Nabi ﷺ telah berniat untuk berpuasa. Tapi karena Aisyah sang istri tercinta berkata:
Ya Rasulullah, kita diberi hadiah Hais dan aku menyimpannya untukmu.
Nabi ﷺ ingin menyenangkan hati istri. Nabi ﷺ menghargai sesuatu yang istimewa di hati istrinya. Walau resikonya, puasa sunnah beliau batal hari itu.
Jadi, tidakkah para laki-laki ‘memaksakan’ dirinya untuk menikmati hidangan istri yang istimewa disiapkan untuk suami tercinta.
Kami para laki-laki harus berkata kepada para istri untuk kali kedua:
Maaf, ya para istri. kami para laki-laki sering tidak menyadari betapa pentingnya urusan makanan di hati para istri.
(fath/arrahmah.com)