Berita tentang syahidnya Syaikh Usamah mengundang reaksi dari berbagai pihak. Baik itu pihak yang pro maupun kontra. Bahkan pihak yang kontra kerap kali menjelek-jelekkan Syaikh Usamah apabila pemahaman tak sejalan.
Mantan Panglima Laskar Jihad Ja’far Umar Tholib yang mengaku pernah bertemu Syaikh Usamah Bin Ladin pada 1987 di kota Peshawar, menganggap apa yang dilakukan Syaikh Usamah adalah perbuatan sesat. Syaikh Usamah di mata Ja’far bukanlah orang yang berlatar belakang agama Islam yang kuat, melainkan seorang sarjana teknik sipil yang kaya karena mewarisi kekayaan dinasti Bin Ladin.
Pernyataan tersebut dilontarkan dalam wawancara Jafar dengan Tempo di pondok pesantren Ihya’ As Sunnah di Jalan Kaliurang Kilometer 15, Yogyakarta. Berkaitan dengan hal tersebut Arrahmah.com berusaha meluruskan statement-statement yang menyerang Syaikh Usamah.
Jafar mengungkapkan alasan ia tak mau bergabung dengan Syaikh Usamah karena Syaikh Usamah meyakinkan dirinya “untuk mengusir Soviet dari Afganistan tidak lain kecuali harus ada bantuan Amerika Serikat. Kami menentang itu. Kami tidak setuju. Kemudian kami keluar dari diskusi. Kami tak sependapat dengan para ekstrimis ini”.
Pernyataan tersebut perlu dipertanyakan. Mujahidin Afghan dan Syaikh Usamah tak pernah meminta atau berharap bantuan AS selama di Afghanistan. Dan beliau tidak pernah meminta sekalipun kepada Amerika.
Bahkan menurut sumber Arrahmah.com Syaikh Usamah sendiri tak pernah sampai berdiskusi panjang dengan Jafar. Jafar mengklaim bertemu dengan Syaikh Usamah tanpa ada bukti yang akurat.
Bagaimana mungkin Usamah setuju dengan bantuan Amerika, bahkan kepada rezim Saudi pun beliau mengkafirkan, karena memperbolehkan Amerika menjadikan Saudi sebagai pangkalan militernya?
Ketika ditanya apa maksud ekstrimis, Jafar menjawab “Kelompok ekstrimis ini adalah kelompok berpemahaman Khowarij Takfiriyah. Kelompok ini menempel dia karena dana yang ia punyai. Khowarij adalah kelompok sesat di dunia Arab, yaitu yang banyak di Mesir dan Irak.yang meyakini bahwa seorang muslim yang berbuat salah dan dosa dianggap kafir dan keluar dari Islam dengan perbuatan dosa itu. Dari prinsip ini lalu berkembang semua orang di luar kelompoknya adalah kafir”.
Kenyataan yang sebenarnya Usahmah dan para pejuang di Al Qaida tidak menganggap orang yang berbuat salah dan dosa sebagai kafir. Bahkan dalam buku-buku Aiman Az Zawahiri, buku al Zarqawi bahkan Imam Samudera sekalipun, pemahaman bahwa yang melakukan salah dan dosa adalah kafir merupakan hal yang ghuluw atau berlebihan. Titik tengah bersandar pada hadist dan Quran yang dilakukan Usamah, Taliban ataupun Al Qaida adalah bahwa orang yang melakukan dosa selama dosa itu tidak membatalkan keimanannya maka ia tetap muslim.
Titik tekan dari Al Qaida dan pemahaman Usamah adalah membela kaum muslimin dan melanjutkan risalah kenabian, wahyu Al Quran yang dengan tegas mengatakan bahwa barang siapa yang berhukum, mempercayai pengaturan manusia berdasarkan hukum di luar hukum Allah adalah kafir. Apakah ini yang dinamakan Khawarij? Tentu tidak. Hanya manusia yang berlebihan, tidak memahami atau memiliki afiliasi politik dengan pihak yang berkuasa tanpa legitimasi syar’i lah yang akan mengatakan hal seperti itu.
Dari hal ini saja Jafar Umar benar-benar tidak memahami apa itu khawarij apa itu Ahlusunnah Wal Jama’ah.
Jafar lebih jelasnya mengatakan bahwa pemahaman Syaikh Usamah sesat “karena yang diperjuangkan adalah daulah Islamiyah almaqsudah, yaitu negara Islam yang diangan-angankan. Yaitu semacam Khilafah Islamiyah yang berkuasa di seluruh wilayah negara Islam. Menjalankan syariah Islam seperti zaman Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali”.
Lantas apa yang salah? Sementara Rasulullah, dan para Khulafaurrasyidin sesudahnya paham bahwa Khilafah adalah kewajiban.
Jafar pun mengatakan “banyak negara Islam yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa yang dikukung dengan berbagai aturan. Aturan itu bertentangan dengan Islam. Maka Usamah dan kelompoknya menganggap negara-negara Islam itu menjadi kafir dan harus diperangi”.
Permasalahan ini (memerangi Negara di luar Negara Islam) sebenarnya bisa didiskusikan dalam kerangka ijtihad. Ada yang mengatakan bahwa Negara kafir harbi-lah yang berhak diperangi. Adalagi ulama yang menganggap bahwa memerangi bisa dilakukan jika kita diperangi. Tetapi, di luar itu semua ulama ahlusunnah waljamaah menyepakati, berdasarkan hadist, ijma dan al quran bahwa penegakan syariat islam adalah kewajiban.
“Maka demi Rabb mu mereka pada hakikatnya sekali-kali tidak beriman, hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) hakim, dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS Annisa:65).
“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (QS Al Maaidah: 44)
“Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk ke jalan yang lebih lurus” (QS Al Isra:9)
Apakah Jafar meyakini bahwa Negara ini mendasarkan hukumnya pada petunjuk yang lurus (Al Quran)? Apakah ia tidak bisa melihat bahwa undang-undang yang dibuat berdasarkan warisan hukum Belanda, berdasarkan deklarasi Hak Asasi Manusia, juga berdasarkan amandemen para wakil rakyat yang melegalisasikan apa-apa yang diharamkan oleh Allah? Apakah dia tidak mengetahui atau menutup mata, telinga dan hati untuk itu?
Dalam wawancara yang sama, Jafar mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi Negara Islam. Mari kita perhatikan. Apakah benar Indonesia sudah menjadi Negara Islam? Mungkin Jafar khilaf dalam hal ini. Bisa jadi karena memang dia tidak faham? Mari kita sama-sama lihat apakah negeri ini merupakan negeri yang menerapkan syariat Islam?
Bagaimana dengan sistem sanksi yang diberlakukan di negeri ini? Bagaimana dengan pezinah? Jangankah menghukum dengan syariat Islam, perzinahan pun dilegalisasi bukan?
Bagaimana dengan hukum mendirikan pabrik minuman keras semacam Bir Bintang? Apakah dibenarkan dalam sistem Islam pendirian pabrik-pabrik minuman keras semacam itu?
Bagaimana dengan sumber daya alam yang dikeruk oleh Caltex, Exxon Oil, Free Port, Bumi Resources dan lain sebagainya yang diambil oleh swasta, padahal di dalam syariat Islam, sumber daya alam dimiliki oleh Negara dan dikelola untuk kemakmuran rakyat.
Ekonomi Indonesia berjalan dengan ekonomi riba. Padahal dengan jelas Allah berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275)
Apakah ini yang disebut dengan Negara Islam?
Bagaimana dengan izin tayangan-tayangan yang diberlakukan? Mari kita lihat saja televisi kita. Metro TV, Trans TV, TV One dan lain sebagainya, tidakkah kita melihat tayangan-tayangan dan video klip syahwat, acara debat, klenik yang menjadikan seseorang bisa jatuh ke dalam kekafiran?
Ada seribu satu macam fakta yang membuktikan ketidakpahaman Jafar ketika mengatakan bahwa Negara ini adalah Negara Islam. Bahkan pemerintah sekalipun jelas-jelas mengatakan bahwa ini bukan Negara Islam. Yang ada adalah negeri yang mayoritasnya umat Islam.
Jafar menjelaskan bahwa “Indonesia kan sudah negara Islam menurut piagam Jakarta 5 Juli 1959. Dimana negara Indonesia dibentuk dengan dasar Islam. Dan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Sekarang saja itu dingkari oleh pemerintah”.
Dalam perjalanannya sebuah Negara Islam bisa saja menjadi Negara Ingkar Syariat Islam, Ingkar Allah. Sebagai contoh Andalusia dulu berada di dalam Kekhilafahan tetapi setelah dihancurkan, diekspansi oleh Spanyol, Andalusia menjadi Negara tempat hukum non Islam karena yang diberlakukan bukan hukum Islam.
Ingat melakukan riba, berzinah, bahkan membunuh manusia bukanlah hal yang menjadikan seseorang murtad dari agama ini, melainkan dosa besar, tetapi membuat aturan yang menghalalkan riba, menghalalkan berzinah, melegalisasikan minuman keras menjadikan sebuah Negara menjadi Negara yang memusuhi Islam.
Mengatasnamakan romantisme masa lalu (Piagam Jakarta) yang saat ini penerapannya hanya berkisar di duit (pernikahan dan haji) justru akan memisahkan Jafar Umar terhadap al wala wal bara bagi kaum muslimin yang merindukan aturan Allah ditegakkan.
Mengatasnamakan romantisme masa lalu dengan mengabaikan fakta bahwa aturan-aturan yang diterapkan bukan berdasarkan aturan Allah, maka dengan landasan apa Jafar mengatakan Indonesia Negara Islam selain hawa nafsu dan kedengkian dia terhadap manusia yang menginginkan bahwa firman Allah bisa dijalankan dinegeri ini suatu saat nanti?
Dalam memperjuangkan penegakan syariat Islam, ulama berijtihad sehingga gerakan-gerakan yang rindu tegaknya syariat Islam ada yang memilih jalur kekerasan ada pula yang memilih jalur non kekerasan.
Apa yang disampaikan Jafar bukan dalam rangka mendiskusikan metode yang layak untuk digunakan dalam menegakkan Islam, akan tetapi mundur kebelakang: menghantam dan memfitnah kalangan yang rindu pada Allah dan Rasulnya, dengan mengatasnamakan piagam Jakarta yang dalam realitanya tidak dilaksanakan bahkan diganti dengan undang-undang yang menghambakan manusia pada hukum selain hukum Allah.
Bukan hanya itu, bahkan Jafar membidik tentang pendidikan dan kekayaan yang dimilik Syaikh Usamah, bahwa beliau adalah “sarjana sipil dan kaya karena warisan keluarga Bin Ladin”.
Lho, memang kenapa kalau seorang pejuang Islam memiliki ijasah sebagai sarjana teknik sipil, dan kenapa jika beliau kaya karena warisan? Toh beliau pun tidak hidup hura-hura dengan menikmati kekayaan. Beliau lebih memilih mencerai dunia dan menjalani hidup terlunta-lunta dan berdarah-darah dalam medan peperangan.
Nabi Muhammad SAW pun pada kenyataannya adalah orang kaya, kalau dilihat dari jumlah ghanimah yang diperuntukkan untuk beliau, tetapi beliau lebih memilih membagi-bagikannya pada orang fakir dan hidup zuhud. Pribadi Abdurrahman Bin Auf pun adalah lelaki kaya raya yang meskipun dengan kekayaannya toh beliau tidak hidup mewah dan tidur di kasur empuk layaknya ulama di Indonesia.
Sumber Arrahmah.com yang pernah berjihad di Afghanistan mengatakan bahwa Jafar hanya beberapa hari di Afghanistan dan hanya datang untuk berkomentar dan mengejek pejuang yang berjihad di sana. Dengan dalih bahwa jihad Afghanistan adalah jihad antara orang musrik dengan ahli bi’dah. Jadi mana mungkin beliau ketemu Syaikh Usamah, sedangkan dia sendiri tidak pernah masuk akademi jihad dan berlatih. Wallohua’lam. (rasularasy/arrahmah.com)