(Arrahmah.com) – Pangkalan udara maguwo sudah dipenuhi tentara Belanda yang baru saja melepaskan parasutnya. Pagi-pagi sekali, 18 Desember 1948, Belanda menyerbu Ibu Kota. Pesan kilat dikirimkan kepada Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Bukit Tinggi agar sedia menggantikan Soekarno bila ia ditawan. Para pemimpin negara seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, Sjahrir ditawan Belanda.
Syafruddin Prawiranegara bergerak cepat membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jenderal Soedirman keluar masuk hutan melakukan gerliya. Dalam kondisi sangat terjepit, para tahanan pemberontak PKI tahun 1948 rupanya bebas, termasuk tokoh muda saat itu DN Aidit.
Perang berkecamuk, mulai dari angkat senjata hingga urat syaraf di atas Renvile sampai ke Den Haag. Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk, namun atas gagasan pimpinan Partai Masyumi dalam Mosi Integral Mohammad Natsir, semua wilayah kembali menggabungkan diri dalam NKRI.
Saat yang sama entah mengapa, PKI direhabilitasi oleh Soekarno- Hatta. Padahal dalam pemberontakan Madiun, Soekarno – Hatta begitu keras pada PKI. Guru Besar Sejarah Universitas Surabaya Prof. Aminuddin Kasdi menilai kondisi pasca Pengakuan Kedaulatan, Indonesia memasuki alam demokrasi liberal.
“Kita masuk ke demokrasi liberal awal tahun ’50, dan kita mendapat tekanan internasional yang membuat salah satunya PKI direhabilitasi,” kata pria yang karib disapa Prof. Amin ini kepada Jurnalis Islam Bersatu (JITU). Dengan direhabilitasi, PKI dapat terlibat di pentas politik dan tokoh-tokohnya diampuni. Efeknya, orang-orang PKI dapat menyebarkan ideologinya dan berdampak pada pemilu 1955.
“Kemudian, pada saat pemilu 1955 justru yang mengejutkan PKI termasuk empat besar setelah PNI, Masyumi, NU baru PKI. Karena keluar sebagai pemenang pemilu maka, PKI menuntut supaya mereka bisa duduk di kursi pemerintahan. Soekarno juga yang menginginkan orang-orang PKI duduk di pemerintahan dengan kabinet yang disebut berkaki empat,” kata Sejarawan asal Surabaya ini.
Namun, masuknya PKI dalam pemerintahan ini ditentang partai-partai lainnya, karena tak mungkin pemberontak bisa dilibatkan. “Sempat terjadi mereka nggak setuju dan keluar. Dari sini suasana mulai semakin panas,” katanya. Tak hanya di pemerintahan, di Gedung Parlemen perseteruan mengerucut antara kelompok Islam dengan PKI.
Puncaknya saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Soekarno membubarkan Konstituante dan mengubah UUDS RIS 1950 menjadi UUD 1945. Budayawan Ajip Rosidi menilai saat itu Soekarno melakukan kudeta. “Saya sebut ini kudeta, karena Konstituante pilihan rakyat dibubarkan dengan alasan bekerja lambat. Padahal mereka hampir merampungkan tugasnya,” kata Ajip.
Sejak Dekrit Presiden inilah, menurut Ajip, Soekarno menunjukkan kekuasaanya. “Karena ia didukung Nasution (tentara) saat itu. Suasana semakin panas saat itu, apalagi setelah Aidit mengatakan kalian harus bersama kami atau musuh kami,” kenang Ajip.
Pihak yang tak setuju Soekarno disematkan antek nekolim, anti revolusi, dll. PKI mendompleng kebesaran Soekarno untuk melawan musuh politiknya. “Semakin berjalayalah mereka setelah Masyumi dibubarkan, PSI dibubarkan pada tahun 1960,” kata Ajip.
Sejarawan Prof. Amin menilai dengan kembalinya NKRI ke UUD 1945, Soekarno dapat memilih anggota MPRS, DPR pilihannya sendiri, dan ditasbihkan menjadi rezim pemimpin seumur hidup.
“Selanjutnya, Soekarno melaksanakan cita-citanya saat masih muda yaitu bahwasannya ada tiga kekuatan revolusioner dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia yaitu Nasionalis (PNI), Islam (Masyumi, NU) dan Komunis atau yang disebut Nasakom,” kata Prof. Amin.
Cita-cita tersebut, kata Prof. Amin sudah diimpikan lama oleh Soekarno saat ia dibuang di Flores. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, pada tahun 1934 Soekarno menulis satu artikel yang mengimpikan nasionalisme, islamisme dan komunisme dalam satu pemerintahan
Kaum Merah Menjarah
Setelah Soekarno menggandeng Nasakom dan Ketua PKI DN Aidit menegaskan siapa kawan siapa lawan, suhu politik di negeri ini semakin memanas. Bersamaan dengan itu tahun 1960, organ-organ PKI yang sudah masuk ke dalam pemerintahan menelurkan UU Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan istilah Land Reform (LR).
“Di dalam LR ada ketentutan, bahwa untuk di Jawa kepemilikan tanah maskimal hanya 5 hektar dan di luar jawa bisa 7 hektar. Jika, lebih dari itu maka harus dibagikan kepada masyarakat yang tak punya tanah karena prinsipnya tanah untuk petani ,” kata Prof. Aminudi Kasdi.
Saat LR diterapkan, terjadi pergolakan. Mengapa bisa terjadi?
“Di perkebuan, PKI punya sarikat buruh yang kuat yaitu Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SABUPRI). Di perminyakan juga ada serikat buruh yaitu serikat organisasi buruh bagian minyak (SOBSI). PKI ingin menguasai sendiri,”kata Prof. Amin.
Mantan Ketua Partai Masyumi Magelang, KH Chalil Badawi (85) mengatakan bahwa UU Pokok Agraria di lapangan berbeda jauh dengan kenyataan. “Kenyataanya, tanah satu hektar saja sudah diserobot oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi tani-nya PKI,” kata KH Chalil kepada Alhikmah.
Budayawan Ajip Rosidi mencatat bahwa banyak aksi-aksi sepihak pada masa itu yang dilakukan oleh PKI, khususnya kepada tanah para Kiai di Jawa Timur. “Sampai ada kekerasan. Aksi pertama PKI mencangkul kepala orang terjadi di Sumatera,” kenang Ajip. Penyerobotan tanah oleh PKI ini terjadi di banyak kawasan.
“Bagi pondok, tanah wakaf sangat penting untuk mendukung ekonom. Karena terjadi penyerobotan, terjadilah konflik di berbagai daerah mulai dari Banyuwangi, Probolinggo, Jember, Malang, Blitar, Kediri, Nganjuk, Tuban, Mojokerto, Jombang, dan Surabaya. Kecuali Madura karena tanahnya nggak subur. Baik kepemilikan tanah pribadi, umum ataupun tanah wakaf milik pesantren semua kena UUPA atau program LR,” kata Prof. Amin.
Di Kediri misalnya, salah satu saksi saat itu Ibrahim Rais (73) mengatakan tanah milik Pabrik Gula Ngadirejo diserobot oleh PKI. “Lalu pihak pabrik membuldoser apa yang sudah mereka tanam. Tak lama mereka tanam kembali, lalu pabrik membuldoser kembali, begitu seterusnya,” kenang Ibrahim Rais.
Jengah dengan kelakuan orang-orang PKI, Pabrik Gula mendatangkan tentara untuk mengusir mereka. “Namun, saat tentara datang, organisasi wanita mereka, Gerwani menghadang di depan, sehingga menjadi sulit membubarkan mereka,” kata Ibrahim.
Bahkan, menurutnya, hal tak senonoh pun kerap dilakukan. Para wanita Gerwani ini tak sungkan melepaskan pakaiannya untuk menghadang tentara yang ingin membubarkan mereka. Penyerobotan tanah, menurut Prof. Amin tak lain merupakan penerapan ideologi komunis di Indonesia.
“Di sini Indonesia dianggap sudah merdeka tetapi ekonominya masih dikuasai kaum feodalisme dan kapitalisme, karena itu aset-aset mereka harus disita dalam revolusi sosial, seperti di Rusia ada revolusi sosial non sweki. Jadi, kedua, revolusi sosial adalah menyita aset-aset ekonomi kaum feodal dan kapital untuk dijadikan milik negara,” kata Prof. Amin.
Revolusi pengambilan aset ini untuk mendukung tahapan revolusi selanjutnya membentuk masyarakat tanpa kelas.” Indonesia termasuk negara agraris sampai 1960 makanya PKI berusaha menjadikan land reform sebagai revolusi sosial dalam bentuk agraria. Kemudian LR menjadi uji coba taste case PKI,” tegasnya.
Matine Gusti Allah
Selain bidang politik dan agraria, bidang kebudayaan tak luput dari tekanan PKI yang saat itu sedang berada di atas angina setelah musuh-musuh politiknya seperti Masyumi, PSI disingkirkan.
“Di bidang kebudayaan, PKI juga menyikat atau memusuhi semua paham yang tidak sesuai dengan paham mereka yaitu realisme sosial dengan jargon seni untuk revolusi. Karena mereka melaksanakan revolusi,” kata Prof. Aminudin Kasdi.
Budayawan Ajip Rosidi (78) masih ingat betul seperti apa panasnya kondisi saat itu. “Tahun –tahun 60’an, mereka menjadikan politik menjadi panglima. Seni yang tidak sesuai dengan paham mereka akan dimusuhi,” kenang Ajip. Saat itu, dalam bidang budaya, PKI melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menebarkan propagandanya.
“Lekra merupakan bagian dari PKI. Ada pihak-pihak belakangan yang ingin memisahkan Lekra dari PKI. Semua orang saat itu tahu bahwa Lekra merupakan bagian dari PKI, baru setelah tahun 70an, Joebar Ayub membuat wacana seolah Lekra bukan bagian dari PKI,” kata Ajip Rosidi.
Djoko Pekik (79), seorang pelukis yang bergabung Lekra pada tahun 1960 pun menguatkan pernyataan Ajip bahwa Lekra bagian dari PKI. “ya memang Lekra merupakan bagian dari PKI,” katanya di Yogyakarta medio Agustus lalu.
Menurut Ajip, sebenarnya pergaulan para seniman dan budayawan sebelum era Nasakom bergaul dengan sangat akrab. “ Setelah Lekra merajalela, kami harus menentukan pilihan sebagai kawan atau lawan mereka,”kenang Ajip.
Orang-orang yang dianggap lawan oleh Lekra pun ‘dikuliti’ . Sebagian orang memilih membentuk Manifes Kebudayaan yang terdiri dari HB Jasin, Goenawan Muhammad, Taufiq Ismail, dll. Sebagian lagi, seperti Ajip, memilih untuk independen, namun tetap tekanan oleh Lekra begitu terasa.
“Lekra memang menjalankan agenda PKI, seperti aksi-aksi massa. Bahkan Lekra di daerah-daerah diresmikan oleh PKI,” kata Ajip. Melalui corong opininya, Harian Rakyat, PKI menyerang para seniman yang berseberangan dengan mereka. “Hadiah sastra yang diberikan HB Jasin tiba-tiba ditolak seniman mereka,” katanya.
Manifes Kebudayaan akhirnya dibubarkan pada tahun 1964. “Walau pembubarannya hanya ada di berita Antara, saya menduga yang menulis tersebut adalah Nyoto (salah satu pendiri Lekra),” kata Ajip. Setelah dibubarkan, buku-buku karangan mereka dilarang beredar.
“Saat itu memang ada pelarangan buku. Bahkan buku yang saya sunting yang ada tulisan sastrawan yang tergabung dalam Manifes, tak luput dari pelarangan. Akhirnya buku tersebut tidak bisa terbit,” katanya.
Penyair Taufiq Ismail, yang saat itu tergabung dalam Manifes Kebudayaan mengaku mendapat intimidasi dari para mahasiswa pendukung PKI. “Saat itu saya mengajar bahasa Inggris di sekolah RP di Bogor, saya didemo agar dipecat,” kata Taufiq.
Tak hanya itu, tak lama sebelum berangkat ke Amerika melanjutkan studinya, ada tekanan kepada pihak Rektorat IPB agar ia tak jadi berangkat. “Padahal semua sudah siap, tinggal berangkat, namun karena tekanan mereka, saya tidak jadi melanjutkan studi,” kata Alumnus Jurusan kedokteran Hewan IPB ini.
Sastrawan Sapardi Djoko Damono pun tak luput dari serangan Lekra. Saat itu, ia baru lulus dari Fakultas Sastra UI dan ingin mengajar di almamaternya. Namun, karena tekanan PKI pada rektorat, ia tak diterima. ( tim buku TEMPO edisi Lekra dan Geger 1965)
Di sisi lain, PKI terus menyerang sastrawan yang bertentangan dengannya seperti HB Jasin, ST Alisyahbana hingga Hamka. Tokoh Lekra, Pramoediya Ananta Toer bahkan menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan dia. Hamka, bahkan difitnah melakukan plagiat.
Selain mendukung PKI, Lekra pun menampilkan hiburan berupa Ludruk dan Ketoprak yang dinilai menghina agama. “Ada pertunjukkan berjudul ‘Matine Gusti Allah’,” kata Ajip. Beberapa saksi menuturkan kepada Alhikmahbahwa pertunjukkan tersebut benar-benar ada.
Warga Nganjuk, Sunaryo (67), saat itu masih kelas akhir SMP di awal 1965 kerap mendengar seruan kentongan menonton bersama Ludruk. ‘Tok..tok..tok..Ayo kita semua ke lapangan, menonton Ludruk ‘Matine Gusti Allah’,” kata Sunaryo menirukan.
Hal serupa dialami Sudrajat (70) di Kampungnya di Tegal Sari Ponorogo yang melihat hiburan-hiburan yang menyebutkan Tuhan telah mati. Masdukin (70), warga Blitar pun pernah ikut menyaksikan pertunjukkan tersebut pada tahun 1965 – 1966. “Ya isinya begitu, dibilang Allah ngunduh mantu, Allah mati,” kenangnya.
Menjelang 1965
“Sampai tahun 1965, PKI bisa dibilang sedang di atas angin, mereka menang di segala lini, mereka sedang berada di posisi puncak yang bisa menindas lawan-lawan politiknya,” kenang Ajip Rosidi.
Provokasi-provokasi PKi terhadap umat Islam dilakukan oleh pelbagai organnya mulai dari Lekra, Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), dan sebagainya.
Sudrajat (70), yang saat itu menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan masih duduk di bangku SMA melihat langsung bagaimana ‘kemenangan’ PKI atas kaum yang berseberangan dengannya.
“Saat ulang tahun PKI tahun 1965 dirayakan secara besar-besaran, mereka adakan di depan Masjid di Ponorogo, dari pagi sampai malam nonstop. Tak ada shalat atau apapun, azan semua dilewati dengan begitu saja,” kenangnya.
Hal lain yang ia lihat sendiri ialah dibangunnya patung Palu dan Arit di depan halaman Masjid Agung Bojonegoro. “Patung Palu Arit setinggi kira-kira 20 meter sengaja mereka bangun di depan Masjid,” katanya.
Hal lain yang terjadi saat itu, menurut Sudrajat ialah PKI menanamkan doktrin anti Tuhan kepada anak-anak. Dari sahabatnya yang mengajar di sebuah TK, ia mendapatkan kisah bahwa anggota PKI meminta anak-anak berdoa kepada Tuhan meminta permen.
“Anak-anak ayo pejamkan mata minta permen pada Tuhan,”
“Buka mata kalian ada tidak permennya?” kata orang PKI.
‘Tidak ada bu Guru…” jawab anak-anak.
“Sekarang coba tutup mata, bilang ‘Bu Guru Minta Permen..”
Guru tersebut pun memasukkan permen ke tangah anak-anak yang mengadah.
“Buka mata kalian, ada nggak permennya?”
“Ada bu Guru..”
“Artinya apa?”
“Begitulah cara PKI menanamkan nilai atheis pada anak-anak,” kata Sudrajat.
Menjelang September 1965, suasana semakin tegang. Perampasan tanah mulai terjadi di mana-mana. “Entah mengapa, parit banyak digali di mana-mana, suasana semakin mencekam,” kenang Soenaryo di Nganjuk.
Di Ponorogo, Sudrajat pun melihat banyak parit-parit digali. “yang kelak kemudian kita tahu lubang-lubang itu dipersiapkan seperti pada tahun 1948 untuk pembantaian,” katanya.
Perseturuan HMi dengan organ PKI seperti CGMI dan Pemuda Rakyat terus meluas bahkan HMI hendak dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Di daerah-daerah, terjadi penyerangan PKI terhadap warga. Salah satu yang terjadi adalah di Kanigoro Ponorogo – Blitar.
Puncaknya, terjadi peristiwa kelam melanda negeri ini pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Sejarah kelam yang kelak menimbulkan permusuhan, gesekan, hingga perjalanan yang berdarah. Salah satu sejarah terkelam bangsa ini.
Oleh: @rizkilesus
Reporter: Tomi, Zacky Hidayatullah, Ally M Abduh, Ahmad Fazeri, Fajar S, Rizki
(kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU))
Sumber: jejakislam.net
(samirmusa/arrahmah.com)