Oleh: Artawijaya
Memaafkan tapi tidak melupakan. Soeharto ada jasanya, tapi juga banyak salahnya.
(Arrahmah.com) – Tokoh besar bangsa yang penuh kontroversi. Begitu KH Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur, menyebut sosok mantan Presiden Soeharto yang meninggal pada 27 Januari 2008. Ada dua wajah Soeharto yang disebut Gus Sholah- panggilan Shalahuddin Wahid: Tokoh besar bangsa dan tokoh yang penuh kontroversi.
Dua wajah, dengan penyebutan yang berbeda juga diucapkan R William Liddle, pengamat politik asal Amerika Serikat yang lama bermukim di Indonesia, “Bapak Pembangunan dan seorang diktator,” ujar Bill-panggilan R William Liddle, tentang dua wajah Soeharto. “Otoriter dan militerisme, tapi figur pembangunan bangsa ini,” kata M Hussein Kasah, rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI), Jakarta.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memang menjadi tokoh besar yang diingat rakyat, sekaligus tokoh penuh kontroversi yang penuh cibiran. Pria kelahiran Dusun Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921, ini dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia oleh MPRS pada 27 Maret 1968. Sebelum memangku jabatan presiden, Soeharto yang sejak muda berkarir di militer sukses di berbagai front peperangan, di antaranya mengambil alih kembali Yogyakarta bersama Jenderal Sudirman dan memberangus komunisme bersama-sama umat Islam.
Jelang menjabat sebagai Presiden Kedua RI dan masa-masa awal berkuasanya Orde Baru, terbetik harapan dari rakyat Indonesia, terutama umat Islam yang sebelumnya mendapat perlakuan represif dari pemerintahan Soekarno di bawah sistem “Demokrasi Terpimpin.” Saat itu, umat Islam yang trauma akan politik mesra PKI-Soekarno dalam kabinet kaki empat dan Nasakomnya, melihat jatuhnya Soekarno dan diberangusnya komunisme sebagai harapan untuk menatap masa depan.
Saat berpidato di depan sidang DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong), 16 Agustus 1967, Soeharto mengatakan, “Orde Baru lahir sebagai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan Orde Lama.” Dalam kesempatan itu juga Soeharto memperkenalkan istilah “Demokrasi Pancasila”.
Pasang Surut Hubungan Soeharto dan Islam
Dalam risalah kecil bertajuk “Indonesia di Persimpangan Jalan”, Mohammad Natsir mengatakan, umat Islam menyambut kemunculan rezim Orde Baru itu dalam suasana yang cerah dan penuh harapan. “Orde Baru kita mulai dengan harapan baru, dan memperbaharui nilai dan tekad untuk memperbaiki apa yang sudah rusak dalam Orde Lama…”tulis Natsir.
Natsir juga menulis bahwa awal-awal masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, muncul kerjasama yang spontan antara umat Islam dan ABRI di berbagai daerah. Bersama dengan ABRI, kaum muslimin bahu membahu menghadapi bahaya yang mengancam negara, terutama dalam menghadapi ancaman dari kelompok Komunis. Natsir menyebut masa-masa itu seperti halnya saat revolusi dulu, di mana umat Islam dengan ikhlas berkorban untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Seperti juga Natsir, tokoh militer Ali Sadikin, yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 1966 sampai 1977, mengatakan, ”Seandainya tidak didukung oleh umat Islam, tidak akan ada Orde Baru. Pada awal berdirinya Orde Baru, Islam dan Orde Baru berangkulan intim sekali,”ujar Ali Sadikin.
Namun di balik harapan itu, dalam masa-masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, rakyat Indonesia dihadapkan pada keadaan ekonomi yang sulit dan stabilitas politik yang masih berada dalam ancaman kelompok Komunis. Inflasi pada tahun 1965 mencapai 500% dan kebutuhan pokok seperti beras naik 900%. Selain itu, beban hutang yang ditinggalkan rezim Soekarno pun membuat pemerintah saat itu kelimpungan. Dalam masa Demokrasi Terpimpin, hutang republik ini ke beberapa negara mencapai 2.356 juta dolar AS. Dengan perincian, 42% kepada Uni Soviet, 10% kepada Jepang, dan 7,5% kepada Amerika Serikat.
Beralihnya pemerintahan dengan dua kondisi krusial di atas, yaitu beban ekonomi dan ancaman stabilitas politik, membuat pemerintah yang berkuasa saat itu menerapkan program stabilisasi politik dan ekonomi dengan membangun serangkaian struktur dan proses politik untuk mengendalikan dua permasalahan tersebut. Soeharto kemudian menerapkan dua langkah. Pertama, memberikan dukungan bagi transformasi ekonomi. Kedua, menjinakkan dan mencegah oposisi agar tidak mengganggu program ekonomi pemerintah.
Untuk memuluskan program-program tersebut, pemerintah Orde Baru menerapkan “ideologi pembangunan” dan konsep “dwi-fungsi ABRI”. Selain itu, konflik politik yang disebut berasal dari perbedaan ideologi juga berusaha diredam dengan memasungnya dalam bingkai “Demokrasi Pancasila”. Segala yang bertentangan dengan ideologi “Demokrasi Pancasila” ditempatkan sebagai musuh negara. Rezim Orde Baru beranggapan, dengan menerapkan program-program tersebut, peralihan pemerintahan akan berjalan dengan baik, ekonomi akan tumbuh, dan stabilitas dalam negeri akan tercipta.
Sekilas apa yang dilakukan Soeharto dengan konsep stabilitas politik dan ekonomi pembangunannya bisa memberikan secercah harapan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Namun di balik itu semua, sikap hegemonik pemerintah dengan memarjinalkan peran politik rakyat, memonopoli sistem pemerintahan dengan segala kebijakan represifnya, serta menabukan pembicaraan-pembicaraan soal ideologis selain Pancasila, justru mendorong bangsa ini ke jurang konflik ideologis yang berkepanjangan.
Sejarah mencatat peristiwa kelam sikap represif rezim Soeharto terhadap umat Islam, seperti Pembantaian Tanjung Priok (1984), Tragedi Haur Koneng di Majalengka (1993), Talangsari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1999), pemberlakuan asas tunggal, kontrol terhadap para mubaligh, dan lain-lain. Meskipun menurut Sulastomo, Ketua Yayasan Amal Bakti Pancasila, “Jangan semua kesalahan ditimpakan pada Pak Harto. Jangan dikira yang bertanggung jawab di negeri ini cuma Pak Harto,”tegasnya.
Stabilitas yang dibangun Orde Baru dalam perjalanan sejarah di kemudian hari adalah “stabilitas semu” yang penuh pergolakan. Umat Islam di zaman Orde Baru, kata orang-orang Masyumi, merasa diperlakukan seperti –maaf- kucing kurap!
Ibarat orang yang disuruh mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan, umat Islam ditinggalkan!
Merapat ke Islam di Akhir Kekuasaan
Senjakala kekuasaan, Soeharto merapat ke umat Islam. Soeharto yang awalnya rapat dengan kelompok Kristen di bawah CSIS dan Benny Moerdani, mulai melirik kekuatan umat Islam. Apalagi, terbetik kabar, Benny ingin melakukan pemberangusan gerakan Islam dan ingin menjadi wakil presiden, bahkan RI satu. Soeharto yang tak rela kekuasaan jatuh ke tangan kalangan Kristen, kemudian merapat ke umat Islam.
Soeharto lalu “menghijaukan senayan”, menunaikan ibadah haji, merestui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Bank Muamalat Indonesia, menyelenggarakan Festival Istiqlal, membangun Masjid At-Tien dan Masjid Amal Bakti Muslim Pancasila, serta seabrek kegiatan keislaman lainnya. Sebagian ada yang menganggap sikap Soeharto tulus dan murni untuk tidak lagi memarjinalkan umat Islam. Sebagian lain menganggap sikap ini sebagai upaya Soeharto mendulang dukungan di tengah menjauhnya ABRI dari kekuasaanya.
Kini, tokoh bangsa yang penuh kontroversi itu telah berpulang.”Dari sisi agama, kita sudah memaafkan. Tapi dari sisi politik dia punya kesalahan besar yang tidak bisa dilupakan,” tutur Bakri AG Tianlien, mantan ajudan Jenderal AH Nasution. Ucapan serupa juga diserukan M Amien Rais, tokoh yang sangat kritis terhadap Soeharto. “Atas nama nurani, moralitas dan keagamaan, saya memaafkan. Tapi kasus terhadap anak-anak dan kroninya harus tetap jalan,” tegasnya.
Kepada Allah jualah segala penilaian terhadap Soeharto kita pulangkan. Karena, setiap manusia, tak akan luput dari Mahkamah-Nya!
*Pernah dimuat di Majalah Sabili, tahun 2008
(samirmusa/arrahmah.com)