Oleh : Artawijaya
Pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan. Orang-orang yang mengukir sejarah itu tidak lahir tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang pengkaderan dan perjuangan.
(Arrahmah.com) – Namanya Muhammad. Dalam sejarah Turki dan literatur Barat sering disebut Mehmet II. Dan kelak, saat ia menjadi sultan Ottoman (Utsmani) dan berhasil menaklukkan Konstantinopel sebagai basis kekuatan Kristen Byzantium pada 857 H atau 1453 M, ia dijuluki sebagai Muhammad Al-Fatih (Muhammad Sang Penakluk).
Sultan Muhammad Al-Fatih yang lahir pada tahun 1432 M di Edirne, Turki, bukanlah sosok karbitan.Ia lahir dan tumbuh dalam proses pengkaderan. Ayahnya, Sultan Murad II, orang yang sangat peduli terhadap masa depan anaknya. Ia memiliki visi dalam mendidik, menyiapkan sang buah hati kelak bisa menjadi sosok pejuang yang tangguh. Sang ayah memiliki harapan agar kelak sang anak mampu menaklukkan kekuasaan super power Byzantium, sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat kaum muslimin.
Pengkaderan itu dimulai dari lingkungan terdekat; dari tempat dimana orang berinteraksi secara intens sehari-hari. Lingkungan itu adalah keluarga, tempat dimana kedekatan psikologis saling tumbuh mempengaruhi dalam jarak yang sangat dekat. Sultan Murad II menyadari hal itu. Ia yang memiliki cita-cita agar anak keturunannya kelak bisa menaklukkan Konstantinopel, kemudian seringkali mengajak Muhammad kecil untuk melihat kota itu dari tepian Selat Boshporus, memandangnya lekat-lekat, sambil kemudian dikatakan kepadanya, “Nak, kelak kau akan menaklukkan kota itu, menjadi sang penakluk sebagaimana yang dijanjikan Nabimu.”
Motivasi lewat verbal dan visual terus dilakukan oleh Sultan Murad II kepada sang anak. Ia berharap Muhammad yang nanti tumbuh dewasa, menjadi sosok yang menjawab nubuwwatRasululullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya, “Kelak kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan kaum muslimin. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R Ahmad dalam Al-Musnad, 4/335).
Sebelumnya, banyak para pejuang Islam yang berusaha dan berharap agar menjadi sosok yang dinubuwatkan oleh Rasulullah SAW tersebut.Berbagai upaya penaklukkan dilakukan. Termasuk yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah yang mulia, Abu Ayyub Al-Anshari RA. Namun semuanya belum membuahkan hasil. Barulah ratusan tahun kemudian, nubuwwat Rasulullah SAW terjawab dengan keberhasilan Sultan Muhammad Al-Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel.
Selain oleh orangtua, pengkaderan juga dilakukan dengan menghadirkan seorang guru terbaik. Sultan Murad II mempercayakan pendidikan anaknya pada Syaikh Aaq Syamsuddin, seorang alim yang kelak juga sangat berjasa bagi Sultan Muhammad Al-Fatih. Kepadanya, Al-Fatih belajar menghafal Al-Qur’an, bahasa Arab, ilmu fikih, akidah, dan sebagainya. Sehingga dalam usia belia, Al-Fatih tak hanya menjadi pemuda yang tangguh, tetapi juga alim.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Sultan Muhammad Al-Fatih adalah soal pengkaderan, lingkup pengkaderan, dan tahapan pengkaderan. Semuanya tak berjalan secara instan. Pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan. Orang-orang yang mengukir sejarah itu tidak lahir tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang pengkaderan dan perjuangan. Pengkaderan terhadap Al-Fatih dimulai dari lingkup terdekat; orangtua atau keluarga, lalu oleh guru sebagai orang luar, kemudian oleh masyarakat sebagai lingkup yang lebih luas.
Sultan Muhammad Al-Fatih adalah sosok yang dipersiapkan. Ruhiyahnya dibina sejak kecil. Kepribadiannya dibentuk sejak belia. Ketangguhannya dalam bertempur dilatih sejak kanak-kanak. Ia menghafal Al-Qur’an, taat pada orangtua dan guru, dan disiplin dalam berlatih. Keahliannya dalam memanah dan berkuda dilahirkan dari latihan yang kontinyu. Pengkaderan yang dilakukan ayahnya terhadap Sultan Muhammad Al-Fatih adalah cermin bagi keteladanan dalam melahirkan sosok pemimpin dan pejuang.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini kita mengenal sosok-sosok yang alim, pejuang, dan pengukir sejarah. Kita ambil contoh dua sosok besar; KH. Hasyim Asy’ari dan KH.Ahmad Dahlan. Mereka lahir dari orangtua yang baik, lingkungan yang baik, dikader oleh keluarga dengan cara terbaik, dididik dengan guru-guru yang alim dan mumpuni, kemudian hidup di lingkungan yang penuh dengan kebaikan. Mereka bukan tokoh karbitan, bukan pula ulama yang lahir secara instan.
Bagaimana kondisi sekarang? Saat ini umat seolah kehilangan sosok kader dalam perjuangan. Kader yang dimaksud di sini adalah mereka yang lahir dan tumbuh berkembang dari keluarga besar dan rahim umat Islam. Kader yang hidup dan digembleng dalam jamaah kaum muslimin, yang bercita-cita untuk memperjuangkan tegaknya aspirasi umat, dan konsisten (istiqamah) akan perjuangannya. Kader yang kokoh imannya, kuat fisiknya, dan cemerlang pemikirannya.
Dalam proses pemilihan kepala daerah misalnya, umat Islam seolah tak memiliki kader untuk diajukan sebagai pemimpin. Atau seolah minder untuk memajukan calon pemimpin yang diusungnya. Padahal, berapa banyak pesantren yang telah melahirkan kader-kader terbaiknya,berapa banyak partai-partai Islam yang mempunyai sosok-sosok yang lahir dari proses kaderisasi, berapa banyak para aktivis ormas Islam yang seharusnya bisa tampil memegang tampuk kepemimpinan lokal dan nasional?
Namun semua itu tertutup oleh kabut pekat yang bernama “kepentingan politik dan uang”.Lalu muncullah ke permukaan, mereka yang tidak pernah dikader, dididik, dan hidup dalam jamaah kaum muslimin. Mereka yang selama ini muncul dari hasil transaksi politik, jual beli kepentingan, dan hawa nafsu kekuasaan. Mereka yang hidupnya tersandera oleh kekotoran pribadinya sendiri, sehingga tak leluasa untuk menegakkan kepemimpin yang bersih.
Al-Qur’an telah mengingatkan kita semua untuk melahirkan kader-kader yang kuat dan tangguh. Kader yang kelak akan menjadi pelanjut bagi estafet perjuangan dakwah kaum muslimin. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisaa:9)
*Dimuat di Harian Duta Masyarakat, Jawa Timur, 30 September 2016
(samirmusa/arrahmah.com)