ANKARA (Arrahmah.com) – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Jumat (1/9/2017) menyebut Myanmar melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya, dimana puluhan ribu orang telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan etnis.
“Ada genosida di sana,” kata Erdogan dalam sebuah pidato di Istanbul saat perayaa Idul Adha, sebagaimana dilansir Arab News.
“Mereka yang menutup mata terhadap genosida yang diabadikan di bawah naungan demokrasi adalah pendukungnya.”
Sekitar 400 orang -kebanyakan dari mereka adalah Muslim Rohingya- tewas dalam kekerasan yang bekobar di negara bagian Rakhine, Myanmar, ungkap kantor kepala militer, Jumat (1/9).
Laporan tentang pembantaian dan pembakaran desa-desa yang dilakukan secara sistematis oleh pasukan keamanan dan milisi Budha semakin memperkuat ketegangan di wilayah itu, menimbulkan kekhawatiran bahwa kekerasan komunal di Rakhine akan belangsung di luar kendali.
Untuk menghindari kekerasan tersebut, sekitar 20.000 orang Rohingya terjebak di sepanjang perbatasan Bangladesh. Mereka dilarang memasuki negara itu, sementara itu puluhan orang telah tenggelam saat mencoba menyeberangi Naf, sebuah sungai di perbatasan, dengan kapal darurat.
Erdogan mengatakan bahwa dia akan menyarakan masalah tersebut di Sidang Umum PBB di New York akhir bulan ini.
Erdogan juga telah berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan pemimpin Muslim lainnya.
Menurut kantor berita Anadolu, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan kepada pihak berwenang Bangladesh untuk “membuka pintunya,” dan Turki akan menanggung biaya yang terkait dengan masuknya lebih banyak Muslim Rohingya.
Bangladesh sudah menampung 400.000 Rohingya dan tidak mau lagi menerima lebih dari jumlah itu.
“Kami telah menyerukan Organisasi Kerjasama Islam,” kata Cavusoglu.
“Kami akan menyelenggarakan pertemuan puncak tahun ini terkait masalah ini. Kita harus menemukan solusi pasti untuk masalah ini,” imbuhnya.
Dewan Keamanan PBB melakukan pertemuan tertutup pada hari Rabu untuk membahas kekerasan di Rakhine, namun tidak ada pernyataan resmi mengenai krisis tersebut.
(ameera/arrahmah.com)