(Arrahmah.com) – Saya ajak Anda semua untuk melepaskan sebentar pikiran kita dari kemelut sosial-politik domestik Indonesia yang makin semrawut ini. Kita layangkan perhatian sejenak ke kaum muslimin Rohingya yang sejak bertahun-tahun ini menghadapi persekusi ala fasisme oleh negara dan geng-geng eskremis Budhis Myanmar.
Dalam beberapa hari ini, operasi penindasan kejam oleh tentara dan perangkat keamanan Myanmar lainnya menyebabkan banyak korban tewas. Ribuan warga Rohingya mengungsi ke pegunungan, ke hutan-hutan. Dalam perjalanan untuk menyelamatkan diri itu pun, mereka masih dihujani tembakan senjata berat.
Dikatakan oleh rezime brutal Myanmar bahwa mereka menyerang karena lebih dulu diserang. Sangat tidak masuk akal. Warga Rohingya yang membela diri mereka pelintir menjadi “penyerangan” terhadap pasukan keamanan.
Pengejaran, pembunuhan keji, penyiksaan brutal, pemerkosaan terhadap wanita Rohingya tidak pernah berjeda. Milisi ekstremis Budhis Myanmar bersama-sama militer dan polisi di negara itu tak henti-hentinya memburu kaum muslimin Rohingya, hampir tanpa alasan. Semata-mata karena kebencian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
Berulangkali kampung-kampung Rohingya dibakar habis. Penduduknya harus melarikan diri ke perbatasan Bangladesh atau mengungsi ke luar negara itu.
Perlawanan yang dilancarkan oleh para pejuang Rohingya, sama sekali tidak berimbang dengan kekuatan mesin militer Myanmar yang memiliki segala jenis senjata dan bekal pengorganisasian.
Dulu, pemimpin gerakan demokrasi, Aung San Suu Kyi, pernah berjanji bahwa kalau dia berkuasa, dia akan menghentikan pengejaran terhadap warga Rohingya. Ternyata, begitu dia berkuasa setelah partainya menang mutlak dalam pemilihan umum 2015, Suu Kyi tidak menghiraukan “ethnic cleansing” (pembersihan etnis) yang dilakukan oleh militer, polisi, dan kaum ekstremis dan teroris Budhis di negara itu.
Suu Kyi memiliki kekuasaan besar. Partainya, Liga Nasional Demokrasi (NLD), menduduki 65% kursi parlemen. Meskipun menurut konstitusi negara itu dia tidak bisa menjadi presiden, tetapi dialah yang memilih presiden. Dialah pemegang kekuasaan de-facto.
Suu Kyi, yang dikenal selama ini sebagai pejuang demokrasi dan hak asasi manusia, menolak untuk menyebut penindasan dan pengejaran serta perlakuan sadis lainnya terhadap warga Rohingya sebagai “pembersihan etnis”. Dia mengatakan bahwa istilah itu terlalu keras. Padahal, fakta yang tampak di lapangan adalah tindakan yang ingin membasmi kaum Rohinngya.
Aung San Suu Kyi malah membela militer ketika mesin perang Myanmar ini diarahkan ke warga Rohingya yang tak bersenjata. Pemimpin yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian ini mengambil sikap tutup mata terhadap tindakan militernya yang menembaki warga Rohingya yang sedang melarikan diri dari kejaran tentara. Yang ditembaki oleh militer itu adalah pengungsi wanita dan anak-anak.
Tidak ada kata yang lebih pas untuk mewakili perbuatan militer, polisi, dan gerombolan ekstremis Budhis Myanmar terhadap kaum muslimin Rohingya kecuali kata “biadab”.
Mereka tidak bisa lagi diajak berdiplomasi, seperti selama ini diterapkan oleh negara-negara ASEAN lainnya. Politik non-intervensi, bahkan non-intevensi dalam bentuk kritikan dan kecaman, sudah tak mungkin lagi bisa efektif dalam menghadapi Myanmar.
Tidak mungkin negara dan kelompok ekstremis Budhis itu dilayani dengan tatakrama yang tinggi. PBB bermaksud masuk ke negara itu dengan sopan santun diplomatik, tetapi tidak pernah mencapai sasaran untuk menyelamatkan warga Rohingya.
Sekarang, sudah tiba waktunya bagi negara-negara berpenduduk muslim besar di dunia untuk melakukan semua langkah yang bisa membantu warga Rohingya. Negara-negara ini bisa menggunakan berbagai macam instrumen untuk menekan penguasa Myanmar.
Untuk menekan Aung San Suu Kyi, agar pengejaran, pembunuhan, pemerkosaan, dan pembumihangusan kampung-kampung Rohingya, bisa dihentikan. Agar pemerintah negara itu mengakui hak-hak kewarganegaraan kaum muslimin Rohingya.
Asyari Usman (wartawan senior)
(*/arrahmah.com)