BOGOR – Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mendukung usulan warga Bogor untuk menjadikan KH Sholeh Iskandar sebagai Pahlawan Nasional. Perjuangan Sholeh Iskandar dinilai menjadi salah satu bukti peran umat Islam di dalam menegakkan NKRI.
Dukungan tersebut disampaikan Hidayat dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Aula KH. Abdullah Siddiq, Kampus Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor, Jawa Barat, Kamis (25/8/2017) siang. Kampus tersebut terletak di Jalan Sholeh Iskandar, Bogor.
Hidayat mengajak para generasi muda di kampus dan kalangan cendekiawan untuk betul-betul menggali dan memahami relasi antara keislaman kita, ke-Indonesia-an kita dan tantangan masa kini, untuk kemudian menjaga kemerdekaan dengan cara yang baik dan benar.
“Sebagaimana dulu semangat yang menggelora diwariskan para tokoh Islam,” ujar Hidayat.
Hidayat juga mengingatkan mahasiswa bahwa ke-Indonesia-an kita saat ini adalah warisan sejarah perjuangan para ulama, pejuang dan termasuk politisi Islam.
“Maka harus kita jaga supaya tidak keluar dari fitrahnya, menjadi terjajah lagi,” tegasnya.
Mahasiswa, lanjut Hidayat, wajib memahami sejarah tentang relasi umat Islam dan Indonesia ini sehingga tidak ada lagi yang ada merasa dirinya paling Pancasilais. Sementara yang lain dituduh anti Pancasila hanya karena perbedaan pilihan politik.
Sebelumnya, Wakil Rektor bidang Alademi UIKA Dr. H. Ruhenda, MPd, di dalam forum yang sama, mengusulkan kepada Hidayat Nur Wahid untuk memperjuangkan Sholeh Iskandar menjadi Pahlawan Nasional. Ruhenda juga meminta para mahasiswa mengkaji sejarah peran tokoh-tokoh islam dalam perjuangan kemerdekaan.
“Negara ini diperjuangkan dengan darah ummat islam. Kita harus jadi pelaku bukan penonton,” tandasnya.
KH. Sholeh Iskandar
Sebagian warga Bogor, Jawa Barat, mungkin hanya mengenal nama KH Sholeh Iskandar sebagai sebuah nama jalan. Padahal, peran laki-laki kelahiran Pasarean, Cibungbulang, 22 Juni 1922 itu dalam berjuang melawan penjajah dan berdakwah agama Islam sangat besar.
Di kemudian hari, Mayor TNI AD Sholeh Iskandar memang lebih dikenal sebagai kiai haji dibanding veteran pejuang.
Pada masa revolusi, Indonesia adalah negara baru merdeka. Indonesia belum memiliki apa-apa, terutama di bidang kemiliteran dan persenjataan. Kemudian rakyat mulai membuat badan perjuangan yang disebut Laskar.
Laskar-laskar ini digagas dari berbagai elemen masyarakat. Ada yang dari ulama, aktivis, simpatisan partai hingga jawara dari tiap kampung dan desa. Edi Sudarjat, penulis Bogor Tempo Dulu, mencatat Bogor menjadi salah satu kota yang membentuk laskar pada masa revolusi.
“Laskar digagas oleh siapa saja yang mau. Ada ulama, ada aktivis dan simpatisan partai, seperti dari Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Ada juga jagoan kampung seperti Laskar Berani Mati, Setan Gundul dan Begundal Krawang. Siapa saja yang berani, mau mengumpulkan teman-teman dan senjata, tentu bisa bikin laskar,” tuturnya dfikutip Liputan6.com, Senin (13/3).
Satu dari sekian banyak laskar di Bogor adalah Laskar Rakyat Markas Perjuangan Rakyat Leuwiliang (MPRL) yang dikomandoi oleh Mayor Sholeh Iskandar. “Laskar mematuhi dektrit Presiden Sukarno pada 20 Mei 1947 untuk digabungkan ke dalam TNI,” tutur Edi Sudarjat.
Laskar MPRL dan Batalyon Hizbullah berganti nama menjadi Batalyon IV dan kemudian menjadi Bataylon O, Tirtayasa, Siliwangi.
Lawan Negara Boneka
Di laskar inilah peran Mayor Sholeh Iskandar mencuat. Di bawah pimpinannya, Batalyon O, mengawal pemerintah RI Bogor yang terpaksa mengungsi ke Desa Jasinga, kemudian ke Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, yang jaraknya sekitar 50 kilometer.
Pada waktu itu, Kota Bogor dikuasai oleh pemerintah Negara Pasundan, yakni negara boneka yang dibentuk pada masa pemerintahan kolonial. Batalyon O kemudian bertugas melindungi dan membangun organisasi pemerintahan Republik bersama R. Ipik Gandanama yang ditunjuk sebagai Bupati Bogor RI pada 1948.
Meski demikian banyak jasanya, tidak banyak orang yang mengenal kehebatan Sholeh Iskandar saat saat memimpin Batalyon O. Musababnya, Sholeh Iskandar mengundurkan diri dari TNI karena merasa perjuangannya di militer sudah usai.
“Sholeh mengundurkan diri dari ketentaraan karena merasa perjuangan militer sudah selesai. Dia bersama ribuan ulama lain mengangkat senjata karena ingin bangsa Indonesia merdeka,” ujar Edi Sudarjat.
(azm/*/arrahmah.com)