JAKARTA (Arrahmah.com) – Kapolda Jawa Barat (Jabar) Irjen Anton Charlyan terancam terkena sanksi atas kericuhan penerimaan anggota Polri di Polda Jabar yang dipicu oleh kebijakannya yang dituding diskriminatif dan anti kebhinekaan.
Tim gabungan Mabes Polri mengevaluasi dugaan pelanggaran atau penyimpangan kebijakan Kapolda Jabar Irjen Anton Charlyan perihal prioritas putra daerah dalam kelulusan seleksi penerimaan Taruna Akpol 2017. Anton terancam kena sanksi.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, dikutip Poskota, mengungkapkan ada sanksi yang bakal diterima jendral bintang dua.
“Ada (sanksi). Kita ini organisasi besar yang ada aturan-aturan,” katanya Senin (3/7/2017).
Dugaan pelanggaran atau penyimpangan Kapolda Jawa barat terungkap setelah beredar video ricuh penerimaan anggota Polri di Polda Jabar. Sejumlah orangtua melayangkan protes, terutama terkait Surat Keputusan Kapolda Jabar Nomor Kep/702/VI/2017 tanggal 23 Juni 2017.
SK itu mengatur pedoman penerapan persentase kelulusan tingkat panitia daerah (panda) bagi putra-putri daerah dalam proses seleksi penerimaan anggota Polri secara terpadu (Akpol, Bintara, Tamtama), TA 2017 Panda Polda Jabar. Dalam keputusan Kapolda Jabar tersebut tercantum bahwa hasil kelulusan sementara sebanyak 35 pria dan 4 wanita dengan kuota 13 putra daerah dan 22 orang nonputra daerah. Namun, setelah melewati tahap seleksi, hanya 12 putra daerah dan 11 orang nonputra daerah yang diterima.
Pasca-kejadian tersebut, tim gabungan dari Divisi Propam, Itwasum, dan Asisten SDM dari Mabes Polri dikirim ke Polda Jabar untuk mengevaluasi kebijakan sang kapolda. Mabes Polri menganulir keputusan dan mengambil alih seleksi penerimaan anggota Polri, khususnya Taruna Akpol yang diselenggarakan panitia Polda Jabar.
Meski mantan Kadiv Humas Polri itu membantah, tim Mabes Polri menemukan adanya SK Nomor Kep/702/VI/2017 tanggal 23 Juni 2017 yang dikeluarkan oleh Kapolda Jabar. “Ada SK-nya, makanya ini sedang dievaluasi,”
Menurutnya, tidak ada aturan yang mengatur adanya prioritas putra daerah dalam penerimaan anggota Taruna Akpol di tingkat polda. Sebab, nantinya para lulusan Akpol akan dan harus siap ditempatkan di kantor kepolisian di seluruh Indonesia hingga atase kedutaan besar Indonesia di luar negeri.
Keluhan Orang tua peserta seleksi
Diketahui, kebijakan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Anton Charliyan yang dituding diskriminatif dan anti kebhinekaan, memberlakukan pemeriksaan kesehatan ulang dan memprioritaskan putra daerah dalam seleksi Taruna Akademi Polisi (Akpol) ditentang orangtua peserta dari kalangan umum.
Bahkan, orangtua calon seleksi semakin geram dengan kebijakan tersebut saat panitia daerah Polda Jawa Barat mengumumkan kuota calon Taruna yang dikirim ke Semarang masuk dalam katagori putra daerah dan non putra daerah.
Untuk kuota putra daerah, dari 13 peserta, terjaring hanya 12 orang. Sedangkan dari non putra daerah, dari 22 peserta, hanya 11 orang yang berhak mengikuti seleksi Akpol di Semarang. Dan, Polda Jawa Barat meloloskan empat calon Taruni Akpol (Polwan).
Dinilai memberlakukan mekanisme tidak adil, orangtua calon peserta yang tidak lolos memrotes saat pengumuman di aula Muryono Mapolda Jawa Barat.
Salah satu orangtua peserta yang tidak lulus, ibu Nani, menyayangkan kebijakan tersebut. Alasannya, sebelum ada kategorisasi putra daerah dan non putra daerah, anaknya berada dalam rangking kecil dan berpeluang besar lolos.
“Saya akan berjuang sampai titik darah penghabisan, untuk memperjuangkan anak saya. Kalau saja nilai anak-anak putra daerah lebih tinggi, saya tidak apa-apa. Tapi yang terjadi sekarang, mereka yang lolos dikirim ke Semarang nilainya di bawah nilai anak-anak kami,” ujar Nani di Mapolda Jawa Barat, Rabu, 28 Juni 2017, dikutip Viva.
Nani mengaku sudah 12 tahun tinggal di Bandung, mendampingi suami yang berdinas di TNI. Mengakui anaknya yang bukan orang Sunda asli, dia merasa tersinggung.
“Copot tuh gambar Garuda Pancasila, di sana tertulis Bhinneka Tunggal Ika. Polda Jabar sudah tidak mengakui arti kebhinekaan,” katanya.
Sementara itu, orangtua peserta lainnya yaitu Warman mengaku keputusan Kapolda Jabar yang memberlakukan pemeriksaan ulang terhadap seluruh calon sangat disayangkan.
Bahkan, untuk menciptakan situasi kondusif, Warman akan mengambil jalur hukum dengan melaporkan tindakan Kapolda Jabar ke Propam Mabes Polri dan ancang-ancang untuk mem-PTUN-kan kebijakan tersebut.
“Kenapa Rikkes ulang dilakukan di pengujung seleksi bukannya di awal-awal? Kemudian keputusan Kapolda soal putra daerah pertanggal 23 Juni 2017, beberapa hari sebelum sidang pengumuman calon Taruna Akpol. Kenapa tidak di awal penerimaan diumumkan?” kata Warman
Proses seleksi yang berujung kisruh ini akhirnya membuat Mabes Polri mengambil alih proses seleksi penerimaan Taruna Akademi Polisi di Jawa Barat.
GMBI
Sebelumnya Kapolda Jabar Irjen Pol Anton Charliyan terbukti menjadi pembina Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). Sebuah Ormas yang beberapa waktu lalu melakukan tindakan anarkis terhadap anggota Front Pembela Islam (FPI) pada Kamis (12/1) usai pemeriksaan Habib Rizieq Shihab.
Padahal Undang-undang no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) pada Pasal 28 ayat (3) menyatakan bahwa anggota POLRI dapat menduduki jabatan diluar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
(azm/arrahmah.com)