GAZA (Arrahmah.com) – Ini adalah kisah dari wilayah yang dijajah sejak beberapa dekade. Kisah dari seorang Muslimah tunanetra di belahan dunia yang diblokade oleh rezim zionis “Israel”. Tapi segala kelemahan dan keterbatasan itu, serta dalam situsi yang buruk, Muslimah ini mampu mencatat prestasi yang gemilang dalam bisa tahfidz dan Qiraat, sebuah pencapaian yang sangat langka. Simak kisahnya berikut ini:
“Saya membaca Al- Quran sebelum saya berbicara,” ungkap Kareema Abu Shahma, wanita Gaza tunanetra berusia 48 tahun, yang sedang dikelilingi oleh murid-muridnya di masjid Jafar di Khan Younis.
“Jika saya ingin pergi ke suatu tempat, saya membaca Al-Quran terlebih dahulu kemudian saya meninggalkan rumah saya. Jika saya merasa sakit, saya membaca Quran,” ujarnya.
Kareema Abu Shahma memulai dan mengakhiri harinya dengan membaca Al Quran. Dia yang terlahir tunanetra berhasil menghafal seluruh Al-Quran secara braille selama lima tahun.
Setiap hari dia melakukan murajaah sekitar seperempat bagian dari Al-Quran untuk menjaga hafalannya.
Di kota Khan Younis, dia memimpin kelas dengan 25 santriwati muda. Para gadis muda ikut kamp tahfidz agar bisa menghafal Al Quran, dan kemudian hafalan mereka diuji oleh perwakilan Wakaf Islam Gaza pada pekan pertama bulan September.
Selama ujian tahfidz itu, para santri diberi enam ayat secara acak untuk dibaca. Jika mereka berhasil membacakan ayat demi ayat untuk mereka, mereka memperoleh gelar hafizhah (atau hafizh untuk anak laki-laki).
Di masjid, gadis-gadis itu duduk dalam lingkaran kecil. Seseorang membacakan ayat-ayatnya sementara pasangannya menyimak, untuk memastikann tidak ada kesalahan.
Kareema Abu Shahma memiliki pendengaran yang sangat baik. Terlahir dalam keadaan buta tak membuat dia putus asa. Dia telah menjadikan kelemahannya itu sebagai kekuatan. Dia kemudian menghafal Al-Quran dan menjadi seorang guru tahfidz di Gaza yang di blokade.
“Saya dulu lemah; Tidak ada yang menerimaku, tapi saat aku hafal Al-Quran, orang-orang mulai menghargaiku sebagai orang buta. Semua orang sekarang tahu siapa saya dan apa yang bisa saya lakukan,” tutur Kareema Abu Shahma.
“Al Quran adalah kekuatan saya. Al Quran akan selalu menjadi panduan Anda dan Al Quran akan selalu memberi Anda kekuatan untuk menjadi apapun yang Anda inginkan. Jika Anda ingin memiliki karakter yang kuat, Anda harus menghafal Quran,” tandasnya.
Maryam, gadis kecil berusia delapan tahun duduk dekat dengan Abu Shahma dan dengan lancar membaca sebuah juz yang dihafalnya.
Ini adalah bulan suci Ramadhan, di mana Muslim yang sudah usia baligh akan berpuasa dari matahari terbit sampai terbenam. Dan meski Maryam belum cukup umur untuk berpuasa sepanjang hari, dia sudah menghafal seperlima dari Al-Quran.
Ratusan pemuda Palestina di Gaza ikut serta dalam kamp-kamp tahfidz Quran selama Ramadhan ini untuk membantu mereka menghafal Quran dengan lebih baik, ditengah blokade kejam yang mengepung mereka.
Sejak 2006, Wakaf Islam Gaza telah mencatat hampir 40.000 hafidz al-Quran yang terdaftar.
“Quran memberikan kita ketenangan. Kita hidup dalam kondisi yang buruk, di bawah tekanan. Al-Quran mengajarkan kita kesabaran,” ungkap Zakariya Alzemly, seorang profesor Ilmu Quran dan Perbandingan Agama di Universitas Islam di Gaza.
Di Gaza,lantunan Al-Quran menggema di toko- toko kelontong dan toko-toko kecil. Tulisan atau kaligrafi Al-Quran dengan mudah bisa dijumpai di dinding grafiti, dicetak di rambu lalu lintas, dan digantung di kantor dengan foto-foto berbingkai Kubah Batu Al Aqsa yang ditempel di dinding.
Bagi Kareema Abu Shahma, menghafal Al-Quran tidak hanya membantunya merasa lebih dekat dengan Tuhan, tapi hal itu juga membantunya merasa lebih percaya diri.
Saat tumbuh dewasa, orang-orang sering mengasihani dia karena kebutaannya. Teman-teman SMA-nya menganggap cita-citanya menjadi guru Al-Quran adalah mimpi yang tak masuk akal. Tapi dia telah membuktikan bahwa anggapan mereka salah.
Dia mulai menghafal Al-Quran sambil belajar untuk mendapatkan gelar sarjananya dalam bidang Hukum Syariah Islam di Universitas Hebron.Dia dengan mudah bisa menghafal Al-Quran karena ada banyak orang yang tersedia untuk mendengarkan bacaanya dan membantu menyempurnakan tahsinnya.
Tapi ketika dia kembali ke Gaza setelah lulus, rumahnya berada jauh dari masjid serta sulit menemukan seseorang yang memiliki pengalaman untuk mendengarkan bacaanya. Selama beberapa tahun, dia terpaksa meluangkan waktunyaselama berjam-jam dengan menelpon teman-temannya yang tinggal di Tepi Barat.
Dia kemudian berupaya keras melanjutkan kuliah untuk meraih gelar sarjana di bidang Qira’at, di mana dia belajar sepuluh bacaan berbeda pengucapan Al-Quran – sebuah prestasi yang hanya sedikit orang yang yang bisa mencapainya.
”Saat saya telah hafal al-Quran dan saya pertama kali mulai mengajar di masjid-masjid, pengunjung memberi saya uang; Mereka mengira saya mengemis,” cerita Kareema Abu Shahma.
“Mereka tidak mengerti bahwa saya bisa melakukan pekerjaan sebaik orang-orang yang memiliki penglihatan. Bagi kami yang buta, orang-orang memadang kami seolah-olah kami tidak bisa melakukan apapun,” lanjutnya.
Hari ini, Kareema Abu Shahma adalah pemimpin yang sangat dihormati di komunitasnya. Dia telah mengajar tahfidz Quran selama lebih dari 20 tahun.
Para hafidz al-Quran Gaza telah mengembangkan reputasi sebagai tilawah Al-Quran paling indah di dunia.
(ameera/arrahmah.com)