Oleh Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
(Arrahmah.com) – “Apa yang akan kami makan jika semua uang sudah habis? Kami semua sangat cemas. Saya tidak bisa menemukan pekerjaan di sini,” kata Nwe Nwe Oo. (republika.co.id, 9/6/2017).
Catatan
Pemerintah Myamnar dan pemimpin de factonya Aung San Suu Kyi menolak klaim pelanggaran HAM dan bersikeras bahwa pasukan keamanan mengikuti peraturan hukum. Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada 6 April, Aung San Suu Kyi, yang pernah dipuji oleh pemerintah barat sebagai ikon untuk memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia, menyangkal bahwa ada pembersihan etnis Muslim Rohingya di Negara meskipun ada bukti yang meluas. Dia juga mengklaim dengan tidak benar bahwa kekerasan di negara bagian Rakhine, rumah bagi Muslim Rohingya, sebagian disebabkan oleh Muslim yang membunuh Muslim dan bukan pembersihan etnis.
Ironisnya, rezim-rezim negeri-negeri muslim khususnya di Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia telah meninggalkan tanggungjawab untuk menolong wanita dan anak-anak Rohingya. Rejim-rejim ini diam, tidak berbuat nyata. Negara-negeri muslim yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, tidak merespons dengan tindakan tegas operasi pembunuhan dan pengusiran yang terjadi sangat dekat. Ini menunjukkan muslim Rohingya mengalami penelantaran. Sama seperti Muslim Palestina, Suriah, Kashmir hadapi saat ini.
Para penguasa dunia Muslim tidak berbagi nilai-nilai cinta kepada muslim Myanmar yang tertindas. Mereka menyaksikan pemerkosaan, perampokan dan pembunuhan dan kekejaman dibiarkan terjadi. Padahal penguasa di dunia Muslim sangat mampu menghentikan kekejaman di negeri ini, namun memilih untuk menjadi pengamat atas penderitaan umat Islam. Fakta media yang tunduk dan terpolitisasi, oleh karena itu minimnya informasi yang jujur, transparan dan obyektif dan slogan “terpercaya” masih kosong. Sebaliknya, jadi mereka hanyalah pelayan negara kolonialis ini atau itu.
Kaum Muslimin Myanmar tetap teguh pada Islam dan terhadap penindasan ini. Umat Islam di seluruh dunia tidak akan pernah melupakan penganiayaan yang mereka hadapi dengan praktik menindas orang-orang yang memiliki kebencian yang mendalam terhadap Islam. Semua ini adalah sebuah pelajaran, bahwa dengan demokrasi, oportunisme dan ambisi politik akan selalu melindas moralitas. Sisstem tersebut bahkan merusak orang-orang yang masuk dengan niat baik sehingga mereka menyingkirkan prinsip moral mereka untuk kepentingan tujuan politik jangka pendek. Lebih jauh lagi, jelas bahwa garis antara kediktatoran dan demokrasi adalah buram – dengan keinginan mayoritas menindas minoritas, atau minoritas menindas mayoritas yang difasilitasi oleh penguasa. Sudah cukup bukti bahwa sistem demokrasi ini tidak akan pernah bisa dipercaya untuk menegakkan keadilan atau melindungi hak-hak minoritas, atau bahkan warganya.
Muslim Myanmar adalah bagian dari tubuh umat. Doa semua umat Islam ada bersama mereka Ramadhan ini. Saudara dan saudari mereka di seluruh dunia yakin bahwa kesulitan mereka akan segera dibebaskan dengan kemenangan Allah Subhanahu wa Ta’ala..
(*/arrahmah.com)