JAKARTA (Arrahmah.com) – Rencana Kementrian Agama melakukan standardisasi dan sertifikasi khatib serta mubaligh dan juru dakwah Islam dinilai semakin meresahkan dan mengancam persatuan bangsa. Kebijakan tersebut juga dinilai diskriminatif karena hanya akan diterapkan pada agama Islam saja.
“Apakah hal yang sama akan terjadi juga terhadap pastur (Katolik), pendeta (Kristen), biksu (Buddha), pendeta (Hindu), kongchu (Kong Hu Chu)? Ini harus dijelaskan ke publik,” kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Maneger Nasution dikutip Republika.co.id, Kamis (23/3/2017).
Dia menjelaskan, wacana ini hanya akan menebar syiar keresahan dan ketakutan publik. Pemerintah, kata dia, sebaiknya menjelaskan ke publik secara terbuka tentang tujuan sesungguhnya dari kebijakan tersebut. Sehingga, publik mendapat informasi yang memadai soal rencana tersebut.
“Ingatan publik kembali terbawa pada peristiwa pembantaian ‘dukun santet’ di Banyuangi yang juga didahului dengan modus-modus yang hampir mirip. Wacana itu juga berpotensi diskriminatif,” ujarnya.
Standardisasi dan sertifikasi khatib, merupakan kebijakan yang dibuat oleh Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin untuk menanggulangi keresahan beberapa elemen masyarakat dalam menanggapi isi dakwah dalam khutbah Jumat. Isi dakwah dinilai terkadang bermuatan provokatif dan politis.
Sementara Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir berpendapat, keputusan standarisasi khatib oleh Menag Lukman Hakim itu tidak maslahat. Menurut dia, standardisasi itu tidak perlu, lebih baik dakwah di Indonesia tumbuh secara kultural.
“Tugas dai atau ulama harus lahir dari masyarakat yang kultural. Yang seharusnya dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan memperbanyak dai-dai ke daerah pelosok,” kata Haedar.
Kalau sudah ada standardisasi yang bersifat formal dan sistematis, dikhawatirkan akan banyak umat yang tidak bisa terbina, karena setiap dai atau ustaz harus punya sertifikat terlebih dahulu untuk bisa menyiarkan agama Islam.
(azm/arrahmah.com)