JAKARTA (Arrahmah.com) – Sejak Jum’at (17/3/2017) Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya 62 dipenuhi petani dari Karawang. Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dan PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah ikut melayani 220 petani dan 60 anak-anak warga eks waroe laden, Karawang yang sejak 4 bulan terusir dari tempat tinggalnya karena digusur untuk daerah Industri Karawang. Mereka akhirnya terlunta-lunta di Karawang.
“Kami hanya menuntut hak, rumah kami dibuldoser, teman-teman kami dikriminalisasi. Pemerintah Karawang tidak menghiraukan tuntutan kami, malah memihak pemilik industri”, curhat salah satu petani, sebagaimana dilansir Sang Pencerah.
Aula dan masjid tidak bisa menampung mereka secara keseluruhan. Ada beberapa diantara mereka yang harus tidur di luar.
Sebelumnya, mereka melakukan aksi di depan Istana Presiden, bersama petani Kendeng dari Rembang. Jelang malam hari mereka membutuhkan tempat untuk beristirahat agar besok bisa kembali melakukan aksi demonstrasi kembali di depan Istana. Mereka berharap agar tuntutan mereka didengarkan Pak Presiden RI.
“Ketika anak-anak yang kini tidak jelas masa depan pendidikan dan tempat tinggalnya itu, tidak ada alasan bagi Pemuda Muhammadiyah untuk tidak membantu para Mustad’afin tersebut. Maka untuk sementara Pemuda Muhammadiyah membantu kebutuhan makan 220 petani dan 60 anak-anak tersebut”, ungkap Dahnil Anzar Simanjuntak.
PP Muhammadiyah juga mendirikan Pos Al-Maun sebagai wadah koordinasi antar relawan Muhammadiyah dengan koordinator warga petani. Penamaan Pos Al-Maun adalah semangat Quranic ala KH Ahmad Dahlan.
Selama empat malam, Gedung PP Muhammadiyah kantor Jakarta menjadi Baitul Mustad’afiin (Rumah Bagi mereka yang Lemah, di Dzholimi, atau Rentan).
Hanya segelintir yang pernah terbayang kantor PP. Muhammadiyah sebagai Rumah Singgah bagi berbagai kelompok aksi, diantaranya adalah saat peristiwa 1998, menampung massa mahasiswa aksi reformasi, dan massa aksi 411 dan 212, dan sekarang menjadi tempat singgah bagi warga petani Teluk Jambe Karawang.
Kedatangan warga petani Teluk Jambe Karawang mengejutkan karena di hubungi jam 17.30 bahwa mereka harus hengkang dari depan Istana.
Persoalan yang muncul saat menerima mereka adalah mengenai ketersediaan tempat layak untuk istirahat, ketersediaan air untuk MCK, ruangan khusus bagi ibu menyusui, ruangan khusus pelayanan kesehatan,
dan lain-lainnya.
Kantor PP Muhammadiyah memang belum memiliki rancangan khusus dalam mengatasi mass gathering atau sebagai Humanitarian Crisis Centre. Sudah ada beberapa peristiwa yang sudah bisa di jadikan pembelajaran. Walau terlambat tapi tidak berarti kita diam tidak berbuat lebih baik untuk masa yang akan datang, ungkap situs yang dikelola PP Muhammadiyaah, Sang Pencerah.
(ameera/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) – Sejak Jum’at (17/3/2017) Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya 62 dipenuhi petani dari Karawang. Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dan PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah ikut melayani 220 petani dan 60 anak-anak warga eks waroe laden, Karawang yang sejak 4 bulan terusir dari tempat tinggalnya karena digusur untuk daerah Industri Karawang. Mereka akhirnya terlunta-lunta di Karawang.
“Kami hanya menuntut hak, rumah kami dibuldoser, teman-teman kami dikriminalisasi. Pemerintah Karawang tidak menghiraukan tuntutan kami, malah memihak pemilik industri”, curhat salah satu petani, sebagaimana dilansir Sang Pencerah.
Aula dan masjid tidak bisa menampung mereka secara keseluruhan. Ada beberapa diantara mereka yang harus tidur di luar.
Sebelumnya, mereka melakukan aksi di depan Istana Presiden, bersama petani Kendeng dari Rembang. Jelang malam hari mereka membutuhkan tempat untuk beristirahat agar besok bisa kembali melakukan aksi demonstrasi kembali di depan Istana. Mereka berharap agar tuntutan mereka didengarkan Pak Presiden RI.
“Ketika anak-anak yang kini tidak jelas masa depan pendidikan dan tempat tinggalnya itu, tidak ada alasan bagi Pemuda Muhammadiyah untuk tidak membantu para Mustad’afin tersebut. Maka untuk sementara Pemuda Muhammadiyah membantu kebutuhan makan 220 petani dan 60 anak-anak tersebut”, ungkap Dahnil Anzar Simanjuntak.
PP Muhammadiyah juga mendirikan Pos Al-Maun sebagai wadah koordinasi antar relawan Muhammadiyah dengan koordinator warga petani. Penamaan Pos Al-Maun adalah semangat Quranic ala KH Ahmad Dahlan.
Selama empat malam, Gedung PP Muhammadiyah kantor Jakarta menjadi Baitul Mustad’afiin (Rumah Bagi mereka yang Lemah, di Dzholimi, atau Rentan).
Hanya segelintir yang pernah terbayang kantor PP. Muhammadiyah sebagai Rumah Singgah bagi berbagai kelompok aksi, diantaranya adalah saat peristiwa 1998, menampung massa mahasiswa aksi reformasi, dan massa aksi 411 dan 212, dan sekarang menjadi tempat singgah bagi warga petani Teluk Jambe Karawang.
Kedatangan warga petani Teluk Jambe Karawang mengejutkan karena di hubungi jam 17.30 bahwa mereka harus hengkang dari depan Istana.
Persoalan yang muncul saat menerima mereka adalah mengenai ketersediaan tempat layak untuk istirahat, ketersediaan air untuk MCK, ruangan khusus bagi ibu menyusui, ruangan khusus pelayanan kesehatan,
dan lain-lainnya.
Kantor PP Muhammadiyah memang belum memiliki rancangan khusus dalam mengatasi mass gathering atau sebagai Humanitarian Crisis Centre. Sudah ada beberapa peristiwa yang sudah bisa di jadikan pembelajaran. Walau terlambat tapi tidak berarti kita diam tidak berbuat lebih baik untuk masa yang akan datang, ungkap situs yang dikelola PP Muhammadiyaah, Sang Pencerah.
(ameera/arrahmah.com)