Oleh: Ima Susiati
(Mahasiswi Univ. Darul Lughah Al Azhar Cairo Mesir)
(Arrahmah.com) – Imdad al-Mughits bi tashil ‘Ulum al-Hadits adalah salah satu kitab agung karya anak ibu pertiwi, Indonesia, yaitu Duktur Lukman Al-Hakim Al Indunisi Al-Azhari yang membahas tentang ilmu hadits dimulai dari apa itu ilmu hadits, pembagian hadits dengan beragam jenisnya hingga bagaimana sikap seorang thalabah dalam mencari ilmu, termasuk ilmu hadits. Dimana ilmu hadits merupakan ilmu syari’at untuk memahami Al-Qur’an.
Ada nuansa yang berbeda yang penulis dapatkan ketika menghadiri Daurah yang beliau asuh langsung sekitar tiga hari yang lalu. Belajar tentang ilmu hadits, pastinya yang terbayang di sebagian benak kita adalah menghafal sejumlah perawi/periwayat hadits yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit hingga bersambung kepada qudwah kita yang agung, Nabi Muhammad saw begitu juga dengan matan atau isi hadits itu sendiri plus kita juga dituntut untuk mengetahui dengan pasti bagaimana biografi para perawi selama hidupnya. Sebab ketakwaan perawi hadits itu akan beratsar pada hadits yang akan beliau riwayatkan.
Benar. Penulis tersadar dan termasuk dalam daftar dari sebagian orang yang menganggap ilmu hadits itu ‘susah’. Dan ternyata hal itu disanggah oleh beliau, Duktur Lukman Al-Hakim. Di dalam Daurahnya, beliau menyampaikan bahwa ada sesuatu yang harus ditanamkan dalam diri kita, thalabah ilmu, yakni untuk menjadikan keikhlasan di atas setiap tujuan yang ingin kita capai. Dengan menjadikan keikhlasan di setiap aktivitas kita, maka semua akan terasa ringan meski kita menghadapi sesuatu yang berat. Begitu juga dalam mempelajari ilmu hadits. Bagiamana mungkin jika ada hukum yang ada dalam Al-Qur’an, butuh penjelasan lebih rinci yang itu bisa kita peroleh di dalam hadits sedangkan kita, sebagai generasi khoiru ummah, enggan dan merasa berat dalam mempelajari ilmu hadits?
Sekali lagi, tidaklah salah jika peserta semakin berdatangan di Aula KMNTB, Soqor Quraisy, memenuhi ruangan hingga kita, peserta akhwat, berpindah posisi lantaran kondisi tempat yang tidak lagi mampu menampung peserta yang tidak lain karena adanya motivasi-motivasi dari beliau selain menjelaskan isi dari kitab yang beliau rampungkan ini. Sehingga meskipun, pastilah, kita sebagai peserta tak henti-hentinya mengerutkan dahi karena membutuhkan fokus penuh- tetap semangat karena adanya nasehat dan kisah-kisah para sahabat dan ulama terdahulu yang gigih dalam menuntut ilmu hingga harum namanya dan tak lekang oleh zaman meskipun keberadaan mereka tidak bersama kita saat ini.
Tak cukup hanya sebatas airmata tanpa daya upaya. Karena air mata tanpa upaya tak lain dan tak lebih dari tangisan yang sia-sia.Seperti itulah halnya disaat kita membaca atau mendengar bagaimana kisah-kisah para ulama terdahulu yang begitu luar biasa. Imam Asy-Sya’bi, misalnya. Beliau adalah seorang ulama tabi’in. Ia pernah ditanya, “Dari mana kau peroleh seluruh ilmumu?” Ia menjawab, “Dengan cara tidak bersandar (bermalas-malasan).
Bersafar ke berbagai daerah. Sabar, sebagaimana sabarnya keledai. Bersegera sedari pagi sebagaimana burung gagak”. (adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffazh, 1/81).
Begitu juga dengan kehidupan Sufyan ats-Tsaury, kemiskinan tidak menjadi penghalang belajar. Sedikitnya bekal tidak menghalangi perjalanan hingga beliau menjadi tokoh bangsa Arab. Beliau adalah seorang yang fakih dan ahli hadits. Digelari dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam masalah hadits) tentu menggambarkan betapa tinggi kedudukannya karena ilmu yang beliau miliki. Pada waktu itu Sufyan berkisah, “Saat aku mulai belajar, aku mengadu (kepada Allah), ‘Ya Rabb, aku harus memiliki penghasilan. Sementara ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah aku bekerja mencari penghasilan saja? Aku memohon kepada Allah kecukupan’.
Sufyan ats-Taury adalah seorang yang miskin sedangkan belajar membutuhkan finansial. Fokus belajar, membuatnya tidak punya harta untuk belajar. Tapi jika belajar sambil bekerja, ilmu yang didapatkan hanya setengah-setengah, tidak optimal. Kemudian Allah memberikan jalan keluar dan mengabulkan doanya. Doa tulus untuk mempelajari agama-Nya. Ibunya berjanji menanggung keperluannya belajar. “Wahai anakku, belajarlah! Aku yang akan mencukupkanmu dari hasil usaha tenunanku ini”, kata ibunya (Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya. 6/370).
Dengan usaha menenun itulah, ibunya membelikan buku dan mencukupi kebutuhannya dalam belajar. Tidak hanya mendanai Sufyan, ibunya juga selalu memberi semangat dan menasihatinya agar terus giat memperoleh ilmu. Ibunya mengatakan, “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, perhatikan, apakah ada pada dirimu perasaan semakin takut (kepada Allah), semakin lembut, dan semakin tenang. Jika engkau tidak merasakannya, ketahuilah apa yang kau pelajari memudharatkanmu. Tidak bermanfaat untukmu.” (Ibnul Jauzi dalam Sifatu Shafwah, 3/189). Nasihat sang ibu Sufyan juga sangat layak kita jadikan renungan. Memuhasabah diri yang mungkin jarang kita lakukan sebagai thalabah ilmu. Sudahkah ibadah kita makin giat, akhlak semakin baik, dan rasa takut serta tawakal kepada Allah kian kuat, setelah kita belajar?
Dan lain lagi dengan kisahnya Jabir bin Abdillah. Jabir bin Abdillah ra adalah seorang sahabat Rasulullah saw yang memiliki semangat luar biasa dalam mempelajari agama. Ia dan ulama-ulama lainnya tidak mencukupkan diri belajar di negerinya sendiri. Mereka bersafar, melangkahi jalan-jalan, menghilangkan ketidak-tahuan.
Kisah perjalanan mereka ini seperti dongeng. Karena mereka berjalan bermi-mil hanya untuk sesuatu yang menurut sebagian orang adalah kecil. Tantangan mereka pun berat dan fasilitas mereka tidaklah hebat. Perjalanan pun tetap beralangsung.Jabir bin
Abdillah ra melakukan perjalanan sebulan menuju Abdullah bin Unais ra hanya untuk satu hadits. Jabir bercerita, “Aku mendengar ada satu hadits yang diriwayatkan oleh seorang dari sahabat Rasulullah saw. Lalu aku membeli seekor onta, dan kuikat bekalku sebulan pada onta itu. Tibalah aku di Syam. Ternyata sahabat tersebut adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintunya, ‘Katakan kepadanya, Jabir sedang di pintu’. Dia bertanya, ‘Jabir bin Abdillah?’ Aku menjawab, ‘Ya’.
Lalu Abdullah bin Unais keluar dan dia merangkulku, aku berkata, ‘Sebuah hadits, aku mendengarnya ada padamu, kamu mendengarnya dari Rasulullah saw, aku khawatir mati atau kamu telah mati sementara aku belum mendengarnya. Lalu ia menyebutkan hadits tersebut…” (Riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 970, Ahmad 16085, dan al-Hakim 3638).Setelah mendangar hadits tersebut, Jabir langsung pulang, kembali ke Madinah. Tidak ada motivasi lain bagi dirinya, berangkat menuju Syam kecuali satu hadits tersebut.
Abu Ayyub al-Anshari pun juga demikian. Abu Ayyub al-Anshari pernah bersafar dari Madinah ke Mesir. Untuk menemui Uqbah bin Amir al-Juhni. Ia ingin meriwayatkan satu hadits darinya. Sesampainya di Mesir, bertemu Uqbah dan mendengar haditsnya, ia langsung kembali ke Madinah (Riwayat Ahmad 17490, Abdurrazzaq 18936, Ibnu Abi Syaibah 13729).
Tentunya masih banyak lagi ulama-ulama yang kesungguhannya tiada tara. Mereka memahami bahwa indahnya dunia hanya sebatas dan sesaat. Sedangkan akhirat itu adalah kekal dan menjadi ‘ma’waa’. Penduduk ahli surga di surga dan sebaliknya penghuni neraka di neraka. Dan itu tempat yang kekal.
Sehingga benar yang disampaikan oleh Duktur Lukman al-Hakim bahwa, “kita tidak sama dengan mereka”. Usaha mereka jauh melebihi batas nalar manusia saat ini. Keikhlasan merekalah yang mengatarkan dan membedakan kita dengan mereka. Mereka, para ulama, memiliki keikhlasan bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah lillah semata, bukan untuk fananya dunia, bukan untuk sekedar prestasi yang fana. Bukan!
Inilah yang menjadi renungan bagi kita. Bermil-mil kita meninggalkan tanah halaman hingga ke negeri di bagian Afrika, Mesir, itu untuk apa? Apakah akan sama dengan yang dilakukan oleh Abu Ayyub al-Anshari? Beliau melakukan perjalanan, yang saat itu belum ada pesawat, ke Mesir demi mendapatkan satu hadits, yang mungkin bisa jadi dianggap remeh oleh masyarakat saat ini, kemudian beliau kembali lagi ke Madinah. Bagaimana dengan kita, khususnya yang diberikan Allah kesempatan menuntut ilmu di tempat yang sama yang dituju oleh Abu Ayyub al-Anshari?
Benar. Ilmu itu adalah cahaya. Yang dengannya kita akan mampu melihat benderangnya kebenaran dan kebathilan. Dengan ilmu yang benar pula, seharusnya umat Islam mampu membedakan nama kawan dan mana lawan. Mampu membedakan nama system Islam dan mana system bathil yang bukan berasal dari Islam. Seperti Kapitalisme dengan derivat-derivatnya yang saat ini telah mampu mengubah haluan umat Islam. Namun, sungguh umat Islam tidak akan pernah kehilangan mutiara-mutiaranya, yang pada saat yang sama juga kembali bangkit. Kembali mengukir kegemilangan sebagaimana para sahabat dan ulama yang terdahulu. Sehingga kita akan menjadi sama layaknya perjuangan mereka. Wallahu ‘alam ‘alaa kulli sya`i.
(*/arrahmah.com)