Oleh A. Sadikin
(Arrahmah.com) – Kata ‘Musa’ dan ‘Firaun’ merupakan di antara kata yang sering muncul dalam kitab suci umat Islam, Al-Quran. Musa merupakan rasul yang diutus oleh Allah kepada Firaun, penguasa paling bengis pada zamannya, bahkan mungkin paling bengis dibanding penguasa setelahnya. Di antara fragmen penting kehidupan Musa yang dikisahkan Al-Quran adalah perang narasinya dengan Firaun.
Musa dan Harun—setelah menerima perintah Allah—mendatangi Firaun di istananya untuk menyerunya agar beriman, dengan narasi bahwa mereka adalah rasul, dengan misi membebaskan Bani Israil dari perbudakan bangsa Qibthi, kaum Firaun. Menanggapi itu, Firaun justru berkelit dan mengalihkan narasi pada kepribadian Musa sebelumnya, dan mencari-cari serta mengungkit kesalahannya. Yaitu dididik dan dibesarkan di lingkungan istana Firaun dan pernah melakukan kejahatan pembunuhan. Berdasarkan itu, Firaun menuding Musa termasuk orang yang tidak tau berterima kasih.
Musa pun mengakui jasa Firaun padanya, juga kekhilafannya tanpa sengaja membunuh seorang pemuda Qibthi, dan juga melarikan diri dari Mesir. Namun Musa menegaskan bahwa perbuatan membunuh itu dia lakukan saat masih jahil dan dia melarikan diri karena takut terhadap keselamatannya. Akan tetapi jasa Firaun pada dirinya tidak ada apa-apanya dibanding kebijakan Firaun yang memperbudak Bani Israil.
Firaun segera kembali mengalihkan narasi, dengan menanyakan tentang hakikat dakwah Musa, namun dengan cara yang tidak beradab, ejekan, dan penghinaan, “Siapa Tuhan semesta alam itu?” Musa pun menjawab bahwa Tuhan semesta alam yaitu Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, yang mana Firaun tidak mungkin mampu menguasainya dengan kekuasaannya.
Firaun mengejek dan menertawakan jawaban Musa seraya berkata kepada pada pembesarnya, “Apakah kalian tidak mendengar apa yang dikatakannya?”. Musa tidak terusik dengan ejekan dan tertawaan Firaun, bahkan tetap fokus menjawab pertanyaan Firaun dengan berkata, “Dia adalah Tuhanmu dan juga Tuhan nenek moyangmu terdahulu.”
Jawaban ini keras menghantam Firaun, dakwaannya dan norma-normanya, karena membantah narasi Firaun bahwa adalah tuhan sebagaimana yang diakuinya di hadapan kaumnya.
Firaun lalu menuduh Musa gila untuk menghilangkan pengaruh pernyataannya yang telah menyerang kedudukan dan wibawanya. Musa tetap tidak terganggu dengan tuduhan Firaun dan tetap fokus menjawab pertanyaan Firaun yang sekaligus merupakan konten narasinya, dengan berkata, “Dialah Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya.”
Merasa kalah dalam perang narasi, Firaun menutup pintu dialog lalu menggunakan kekuasaannya dengan mengancam akan memenjarakan Musa. Namun Musa justru segera membuka kembali lembaran dialog sehingga ia bisa selamat dengan mengajukan agar dia diperkenankan menunjukkan bukti-bukti bahwa dia memang seorang rasul. Firaun pun terpaksa mengabulkan permohonan Musa agar dia tidak dianggap takut dengan argumentasi Musa. Kemudian Musa pun mendatangkan bukti berupa tongkat yang berubah wujud menjadi ular, dan tangan yang bisa mengeluarkan cahaya.
Firaun lalu menuding Musa telah melakukan praktik sihir dan melanjutkan propokasinya dengan mengingatkan para pengikutnya, bahwa tujuan Musa adalah untuk mengusir mereka dari Mesir. Firaun meminta saran kepada para pembesarnya bagaimana cara menghadapi Musa. Mereka pun mengusulkan untuk mengadakan pertarungan sihir antara Musa dan para ahli sihir Mesir. Karena yakin menang, Firaun lantas menyerahkan ketentuan waktunya pada Musa. Waktu yang dipilih Musa jatuh pada hari perayaan mereka, tepatnya pada waktu dhuha.
Pada hari pertarungan sihir tersebut, Musa berhasil mengalahkan para ahli sihir Mesir sehingga menyebabkan mereka beriman kepada Musa. Karena keimanan para ahli sihir merupakan pukulan telak, maka Firaun menuduh para ahli sihir telah melakukan makar dan bersekongkol dengan Musa untuk mengusir bangsa Qibthi dari Mesir, serta mengancam akan membunuh mereka. Para ahli sihir tetap teguh dengan keimanannya sehingga mereka pun terbunuh sebagai syuhada.
Setelah itu Firaun dan kaumnya semakin menindas Bani Israil. Allah kemudian menurunkan hukuman kepada berupa kemarau panjang, kekurangan buah-buahan, topan, belakang, kutu, katak, dan darah. Peristiwa ini—paling tidak—menyentuh hati sebagian kaum Firaun. Lalu Firaun memengaruhi kaumnya dengan suatu yang dekat dan terlihat oleh mereka berupa: kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya, dan sungai-sungai yang mengalir di bawah kakinya. Firaun juga mempermainkan logika kaumnya dengan narasi bahwa seandainya Musa benar seorang rasul niscaya dia akan diangkat sebagai raja, atau paling tidak malaikat akan bersamanya untuk menggiringnya. Akhirnya kaum Firaun tunduk padanya. Semua bukti-bukti itu tidak membuat mereka sadar.
Tatkala kezaliman Firaun mencapai puncaknya, Musa berdoa agar Firaun beserta kaumnya dibinasakan. Allah pun mengabukan permohonan tersebut. Firaun beserta pasukannya ditenggelamkan saat mengejar Musa bersama kaumnya di Laut Merah. Allah kemudian menyelamatkan jasad Firaun agar menjadi pelajaran generasi yang hidup setelahnya.
Executive Summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 3/Maret 2017
(*/arrahmah.com)