Oleh : Wijaya Kurnia Santoso (Praktisi Pendidikan)
(Arrahmah.com) – Pembahasan tentang guru selalu menarik untuk diperbincangkan. Di Indonesia, akhir-akhir ini guru menjadi buah bibir yang cukup menyedot banyak perhatian publik. Mulai dari tanggung jawabnya tentang kemrosotan moral peserta didik, menggugat profesionalismenya, ribetnya sertifikasi guru dan lain sebagainya. Di luar itu semua, guru adalah salah satu ujung tombak pendidikan. Di tengah berbagai serangan invasi budaya barat, guru mempunyai peran sebagai kunci pendidikan. Artinya, guru memiliki andil sebagai filter budaya sekaligus berperan mengantarkan suksesi masa depan peserta didik. Jika guru sukses mendidik maka kemungkinan besar murid-muridnya akan meraih kesuksesan pula.
Kesuksesan yang diraih oleh Imam Syafi’i tidak bisa dipisahkan dari peran guru-guru beliau, khususnya Imam Malik. Begitu pula dengan kesuksesan KH. Hasyim Asyari yang tidak bisa lepas dari peran guru-guru beliau, khususnya Syekh Kholil, Bangkalan Madura. Peran guru sangatlah vital sebagai pembentuk kepribadian, visi, misi serta cita-cita anak didiknya di masa mendatang. Di balik kesuksesan yang diraih oleh murid, selalu ada peran guru dibalik kesuksesan itu.
Guru adalah pendidik, bukan sekedar pengajar. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi lebih dari itu, yakni mendidik. Mendidik bukan hanya sekedar mentransfer ilmu, tetapi menjadi contoh teladan, menumbuhkan karakter dan sumber inspirasi bagi para peserta didik. Profesi guru sama pentingnya dengan profesi dokter maupun apoteker. Apabila ada apoteker dan dokter melakukan malpraktik dalam bidangnya, maka bisa berdampak pada pasien mengalami cedera, cacat permanen dan bahkan kematian. Sangat mengerikan bukan?. Seandainya malpraktik itu terjadi di dunia pendidikan dan dilakukan oleh para guru betapa lebih mengerikannya hal yang akan terjadi. Ya, malpraktik pendidikan. Dampak dan bahayanya lebih mengerikan dibanding malpraktik kesehatan. Karena yang dibentuk dalam pendidikan ini adalah individu yang nantinya menjadi bagian dari masyarakat, terlebih lagi peserta didik yang sekarang ini menjalani proses pendidikan, nantinya 20-30 tahun mendatang akan
menjadi pemimpin negeri ini. Jika output yang dihasilkan adalah orang-orang yang tidak memiliki mental pemimpin dan negaran serta tidak memiliki kepribadian yang baik, maka nasib bangsa ini ke depan akan terancam. Oleh karena itu, dalam proses mendidik harus dilakukan dengan serius, tidak boleh disepelekan. Para pendidik pun juga harus siap dan mau memantaskan diri menjadi seorang pendidik (baca: guru) yang baik. Guru harus bisa bertindak profesional, tidak hanya memiliki gelar sarjana saja tapi juga harus memiliki karakter pendidik yang tertanam dalam diri dan jiwanya. Kampus-kampus yang menelurkan para guru, selain membekali dengan ilmu profesional, juga harusnya membentuk karakter para calon guru sehingga siap diterjunkan untuk membentuk karakter dan kepribadian peserta didik nantinya.
Di sinilah urgensi melahirkan guru-guru berkualitas, guru yang mampu membangkitkan semangat besar dalam diri anak untuk menjadi aktor perubahan peradaban dunia dan guru yang mampu menjadi uswah bagi para muridnya. Karena sekali lagi bahwa tujuan pendidikan bukan hanya sekedar cerdas intelektualnya tapi jauh lebih penting dari itu, yakni perubahan perilaku yang baik. Berikut ini 11 karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh guru :
1. Ikhlas
Hadits dari Abdullah bin Masud riwayat at-Tirmidzi dan asy-Syafi’i dalam ar-Risalah dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : Allah akan menerangi orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia menyadarinya, menjaganya, dan menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa pengetahuan kepada orang yang lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati seorang muslim tidak dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan senantiasa ada dalam jamaah al muslimin. Karena dakwah akan menyelimuti dari belakang mereka.
2. Tenang dan tidak buru-buru
Rasulullah saw bersabda kepada Asyaj bin Abdil Qais, “Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua perkara yang dicintai Allah : tenang dan tidak terburu-buru.” (HR. Muslim)
3. Lembut dan tidak kasar
Rasulullah bersabda, “wahai Aisyah, bersikaplah lembut, karena sesungguhnya Allah apabila menghendaki kebaikan pada suatu keluarga, Dia ilhamkan kelembutan kepada mereka.” (HR. Ahmad)
4. Hatinya penyayang
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Ibnu Umar ra : “Sesungguhnya setiap pohon selalu memiliki buah. Buah hati adalah anak. Sesungguhnya Allah tidak menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya. Demi jiwaku yang berada di TanganNya, tidak akan masuk surga selain orang yang penyayang.” Kami katakan, “Wahai Rasulullah, setiap kita menyayangi?” Beliau menjawab, “Bukanlah yang dimaksud dengan kasih sayang adalah seseorang menyayangi temannya. Yang dimaksud dengan kasih sayang adalah menyayangi seluruh umat manusia.”
5. Memilih yang termudah selama bukan dosa
Dari Aisyah ra, ia berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam menentukan pilihan antara dua perkara melainkan beliau memilih yang termudah diantara keduanya selama bukan termasuk dosa. Apabila termasuk dosa, maka beliau menjadi orang yang paling menjauhinya. Tidaklah Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam marah untuk dirinya sendiri dalam masalah apapun kecuali apabila syariat Allah dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Menjauhkan diri dari marah
Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pemberani bukanlah orang yang pandai berkelahi. Orang pemberani adalah orang yang mampu menguasai diri ketika marah.” (Muttafaqun ‘alaih)
7. Jujur
Hai orang-orang yang beriman, bertkwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah [9] : 119)
8. Bertutur kata dengan baik
Jauhilah neraka walau dengan sebiji kurma. Siapa saja tidak menemukan sebiji kurma, maka dengan perkataan yang baik. (Muttafaqun ‘alaih)
9. Menampakkan wajah berseri
Engkau jangan menyepelekan kebaikan sedikit pun, meski hanya sekedar bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri (HR. Muslim)
10. Bersikap hati-hati (wara’) dan meninggalkan Syubhat
Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Sebaik-baiknya agama kalian adalah wara’. (HR. ath-Thabrani dan al-Bazzar. al-Mundziri berkata, “hadist ini sanadnya hasan”).
11. Amanah
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,…. (QS. An-Nisa [4]: 58)
Semoga guru-guru di negeri ini memiliki karakter demikian, dan akan lahir dari rahim pendidikan ini para pemimpin yang amanah. Jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali.
(*/arrahmah.com)