Oleh Umar Syarifudin (Pengasuh Majlis al Ukhuwah)
(Arrahmah.com) – Akhlaq al-karimah adalah salah satu tanda kesempurnaan keimanan dan ketakwaan seorang mukmin. Menjadi penyeru kebaikan dan perubahan tidak cukup merubah diri sendiri menjadi baik tetapi juga harus berupaya merubah orang-orang di sekitar menjadi baik, artinya setiap muslim tidak hanya jadi orang baik, tetapi dituntut menjadi penyeru kebaikan. Bagi seorang pengemban dakwah, ketika sifat-sifat mulia telah terinternalisasi pada dirinya, maka mereka akan menjadi magnitude yang akan diikuti umat. Sehingga nasehat dan seruan kepada mad’u terasa membekas. Diantara akhlaq yang mulia adalah zuhud dan tawadlu’.
Zuhud
Sederhana dan bersahaja yang terwujud dalam perilaku zuhud, merupakan sifat mulia yang perlu diteguhkan baik muslim maupun muslimah, terlebih lagi para ulama dan setiap pengemban dakwah, agar mereka tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya. Zuhud tidaklah bermakna menggelandangkan dunianya. Tapi, orang beriman beramal shalih untuk unggul di dunia, pada saat yang sama, akal dan perasaan mereka tidak tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.
Imam Sufyan ats-Tsauri ditanya: “Akankah orang yang berharta itu menjadi seorang zuhud?” Beliau menjawab: “Ya, dengan catatan jika hartanya bertambah, maka ia bersyukur, dan sebaliknya jika hartanya berkurang, maka ia juga bersyukur dan bersabar.”
Yahya bin Mu’ad berkata: “Aku heran pada tiga hal: Pertama, seseorang yang beramal dengan riya’ (dipamerkan) kepada makhluk sesamanya, sebaliknya ia enggan beramal karena Allah. Kedua, seseorang yang kikir dengan hartanya, sementara Tuhannya meminta pinjaman padanya, namun ia tidak meminjamkan sedikitpun harta pada-Nya. Ketiga, seseorang yang senang bersahabat dan berkawan dengan para makhluk, sementara Allah menyerunya agar bersahabat dan berkawan dengan-Nya.” (Abdul Aziz bin Muhammad Salman, Mawârid al-Dzam’ân li Durûs al-Zamân Juz II).
Dari Jundab bin Abdullah al-Bajali, ia berkata: “Aku datang ke Madinah guna menimba ilmu, lalu aku masuk ke masjid Rasulullah saw. Maka di dalamnya orang-orang membentuk beberapa halqah guna membahas berbagai perkara. Aku kemudian mengikuti semua halqah itu, hingga tiba pada satu halqah yang di dalamnya ada seorang laki-laki yang kurus, ia memakai dua buah baju seakan-akan baru tiba dari satu perjalanan.
Aku mendengarnya berkata: “Celakalah mereka yang memiliki kekuasaan dan mempunyai kedudukan. Tiadalah obat yang bisa menolong mereka.” Aku mengira bahwa ia mengatakan hal itu berkali-kali. Aku duduk mendekatinya, ia menerangkan fatwanya, kemudian berdiri. Aku menanyakannya pada yang hadir setelah dia berdiri: “Siapa gerangan orang ini?” Mereka menjawab: “Inilah sayyidul muslimin (pemimpin kaum Muslim) Ubay bin Kaab“.
Lalu aku mengikutinya, hingga tiba dirumahnya. Ternyata rumahnya begitu usang, begitu pula dengan bentuknya. Ia seorang laki-laki zuhud yang tiada bandingannya, walaupun semua orang saling menggabungkan kezuhudannya untuk menandingi kezuhudannya.
Suatu hari, Abdullah bin Umar diberi hadiah oleh temannya sebuah bejana yang penuh berisi. Ibnu Umar bertanya: “Apakah ini?” Temannya menjawab: “Ini obat mujarab yang aku bawa untukmu dari Irak.” Ibnu Umar berkata: “Apa khasiat obat ini?” Temannya menjawab: “(Membantu) mencernakan makanan”. Ibnu Umar tersenyum dan berkata pada temannya: “Membantu mencernakan makanan? Sesungguhnya aku tidak pernah kenyang makan makanan selama empat puluh tahun”. Ibnu Umar ra takut, jika pada hari kiamat kelak dikatakan padanya: “Engkau telah menghabiskan segala yang lezat milikmu sepanjang hidupmu di dunia, dan hidup bersenang-senang dengannya”. Sebagaimana ia sering katakan pada dirinya: “Aku tidak membuat bangunan dengan dinding tembok, dan tidak menanam sebatang kurma pun sejak Rasulullah saw wafat”. Maimun bin Mahran berkata: “Aku memasuki rumah Ibnu Umar, lalu aku menaksir segala sesuatu yang ada di rumahnya, mulai dari tempat tidur, selimut dan periuk besar, dan semua perabotannya, aku tidak mendapati nilainya mencapai seratus dirham.”
Sikap zuhud menjadikan seorang hamba Allah berhati-hati dari sifat riya’ dan kikir. Yahya bin Mu’ad berkata: “Aku heran pada tiga hal: Pertama, seseorang yang beramal dengan riya’ (dipamerkan) kepada makhluk sesamanya, sebaliknya ia enggan beramal karena Allah. Kedua, seseorang yang kikir dengan hartanya, sementara Tuhannya meminta pinjaman padanya, namun ia tidak meminjamkan sedikitpun harta pada-Nya. Ketiga, seseorang yang senang bersahabat dan berkawan dengan para makhluk, sementara Allah menyerunya agar bersahabat dan berkawan dengan-Nya.” (Abdul Aziz bin Muhammad Salman, Mawârid al-Dzam’ân li Durûs al-Zamân Juz II).
Tawadlu’
Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa Salam juga mengatakan bahwa orang yang bersikap tawadhu’, ia akan diangkat derajatnya. Sebuah derajat dan kehormatan yang tentunya sangat tinggi dihadapan Tuhannya.
“Dan tidaklah Sesorang bertawadhu’ kepada Alloh kecuali Alloh akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim).
Dalam hadist lain juga disebutkan: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Alloh, naka Alloh akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri, maka Alloh akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi.” (HR. Al-Baihaqi).
Telah sampai kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah cerita orang-orang di Syam tentang dirinya. Mereka terpesona terhadap gelar amirul umara (panglima besar) yang disandangnya. Ia mengumpulkan mereka dan berbicara di depan mereka: “Wahai manusia, sesungguhnya aku seorang muslim dari suku Quraisy. Siapa saja diantara kalian yang berkulit merah atau pun yang berkulit hitam, yang lebih bertakwa kepada Allah daripada aku, maka aku ingin sekali dibimbing olehnya”.
Ketika Amirul Mukminin Umar mengunjungi Syam, ia bertanya tentang saudaranya, mereka malah bertanya: “Siapa saudaramu itu?”. Ia menjawab: “Abu Ubaidah bin al-Jarrah”. Abu Ubaidah pun datang dan kemudian dirangkul Amirul Mukminin. Lalu Abu Ubaidah mengajaknya ke rumahnya. Di sana, Umar tidak mendapati perabotan apapun di dalam rumahnya kecuali pedang, perisai, dan pelana miliknya. Umar bertanya kepadanya sambil tersenyum: “Mengapa engkau tidak mengambil harta untuk kepentinganmu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang?” Abu Ubaidah menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, ini semua sudah cukup menjadikan aku bisa istirahat dan tidur sejenak.”
Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah Al-Haq (benar); kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
Dalam sebuah atsar juga diceritakan bahwa pada suatu malam datanglah seorang tamu kepada kholifah Umar bin Abdul Azis. Waktu itu beliau sedang menulis. Lampunya hampir saja padam. Tamu itu kemudian berkata: “Ya Amirul Mukminin, biarlah saya yang memperbaiki lampu itu.” Sang Amir menjawab: “Jangan, tidak baik seorang menganggap tamunya sebagai pelayan. Itu bukan Akhlak mulia.” Tamunya itu berkata lagi: ”Kalau begitu, biar saya bangunkan pelayan saja.” Sang Amir menjawab: “ Jangan ia baru aja tidur, sepertinya sejak tadi dia blom menikmati kenikmatan bantalnya.” Selanjutnya beliau sendiri yang membetulkan lampunya. Si tamu itupun bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, mengapa anda sendiri yang membetulkan lampu itu?” Sang Amir menjawab: “ Mengapa tidak, kalau saya pergi sayapun tetap Umar. Tidak berkurang sedikitpun dari diriku dengan apa yang saya lakukan tadi, bukan? Selamanya saya tetap Umar.”
(*/arrahmah.com)