Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
(Arrahmah.com) – Publik terkadang dibuat heran dengan suatu pemberitaan. Antara kebenaran dan rekaan. Hal ini dikarenakan publik menerima berita dan informasi sebagai info, bukan lantas dianalisis dengan sudut pandang tertentu. Publik sebatas pembaca berita. Karenanya mudah sekali termakan isu dan berita hoax. Sering pula publik disuguhi berita heboh sebagai pengalihan isu.
Bukan hal baru bahwa pemerintahlah sesungguhnya yang selama ini mengontrol media. Berlepas dari kepentingan bisnis pemilik media. Publik pun melihat bahwa pemilik media merupakan orang yang dekat dengan kekuasaan. Contohnya, Surya Paloh (SP) pemilik media Group. SP juga menjadi Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, meski sebelumnya di Partai Golkar; Harry Tanoe Sudibyo (HTS) pemilik MNC Group. HTS menjadi Ketua Umum Perindo yang sebelumnya masih Ormas, meski sebelumnya HTS di Partai Hanura; Dahlan Iskan (DI) pemilik Jawa Pos Group meski tidak terjun dalam politik praktis, namun langkha-langkahnya menunjukan aktifitas politik. Tak pelak pernah menjabat Dirut PLN dan Mentri, serta mengikuti konvensi Presiden di Partai Demokrat.
Nah, hal yang masih mengganjal terkait sikap pers kepada umat Islam. Tampaknya pertarungan ideologis lebih dominan dalam ‘menggasak’ dan ‘menyerang’ Islam dan umatnya. Meningat media memilik peran sebagai pembentuk persepsi umum. Pencitraburukan sangat mudah dilakukan melalui media massa, yang kemudian dibroadcast secara viral. Di sinilah terkadang letak ketidakadilan media pada Islam. Jargon cover both side sekadar pemanis jurnalis agar terlihat intelektual dan taat asas. Media terkadang lambat dalam memberikan respon yang pemberitaanya tidak berimabang.
Perang ideologis media
Pers Islam sesungguhnya telah eksis sejak lama. Keberadaannya betul-betul dirasakan oleh segenap penduduk dunia. Pada akhirnya pers Islam mampu menggoncang dunia. Sebagaimana cuplikan sejarah berikut.
“Dan tidaklah berlebih-lebihan untuk menarik perhatian dari anggota-anggota Perang Salib kita abad XIX tentang kedudukan penting pers islam. jaringan tersebar di seluruh Asia dan Afrika dan petundjuk-petundjuknya membekas dalam djiwa pembatjanja. Di Turki, India, Parsi, Asia Tengah, Djawa, Mesir, dan Aldjazair, penerbitan-penerbitan rakjat, baik harian ataupun madjalah, mulai menjebarkan pengaruhnja jang mendalam. Tiap apa jang dipikirkan, dan diputuskan dan dilakukan Eropa terhadap islam, tersiar ke seluruh negeri-negeri itu setjepat kilat. Kafilah-kafilah membawa berita tsb. Ke djantung Tiongkok dan hatulistiwa, di mana ia dikomentari dalam nada jang seragam.
“Pertjikan-pertjikan api jang terjetus dalam pertemuan-pertemuan dan pesta-pesta kita mendjadi menjala, sedikit demi sedikit bertambah berkobar njalanja. Dari itu tidak dapat dimaafkan, manakala kita menutup mata terhadap bahaja jang mengintai. Apa jang ditulis oleh “Tardjuman” di Krim, diulang kembali oleh “Iqdam” di Istambul, kemudian dikomentari setjara luas oleh “The Moslem Chronicle di Kalkuta”.
(Cuplikan dari Arminius Vambrey, La Tarquie d’aujourd’hui ct d’avant Quarante Ans, hal 71,72, Paris, 1898) sumber Buku Sejarah “Dunia Baru Islam” Lothrop Stoddard hlm 74)
Pengaruh itu tampaknya berbanding terbalik saat ini. Pers Islam terkubur dalam kubangan yang sangat dalam. Bahkan tidak ada satu suara dalam memperjuangkan Islam di berbagai negeri muslim. Kondisi ini memprihatinkan semenjak keruntuhan institusi dan pemersatu umat Islam seluruh dunia, yaitu Khilafah.
Umat Islam kian rendah untuk membela dan menyuarakan kepentingan agamanya. Akibatnya, aspirasi umat kurang tersalurkan. Umat hanya menjadi konsumen dan rebutan media massa lain yang tak jarang membawa informasi menyesatkan bagi mereka. Tak dapat dipungkiri, dominasi Pers Barat dewasa ini menguasai era informasi dnegna segala keunggulan sistem, teknik, dan media informasinya yang tersebar luas dan menjangkau seluruh dunia.
Pers Barat senantiasa berupaya memanipulasi dan merekayasa pemberitaan tentang Islam dan umatnya. Tujuannya memojokan posisi di arena internasional. Tidak mengherankan pemikiran, ide, dan budaya Barat kian diadopsi di negeri-negeri Islam. hal inilah yang disebut ghazwul fikr wa ghazwu tsaqofy. Serta imprealisme Barat melalui media massa.
Barat dengan kepemimpinan AS memegang peranan penting dalam media massa dan arus informasi. Sehingga AS dalam pertarungan politik dunia tengah disibukkan dengan isu ISLAM RADIKAL atau ISLAM FUNDAMENTALIS, dapat dengan mudah membentu opini publik tentang Islam dan umatnya sebagai berbahaya, intoleran, anti demokrasi, ortodoks, haus darah, dan lainnya. Sebaliknya, dengan dukungan media massanya, AS dan negara Barat pada umumnya mencitrakan dirinya sebagai “penyelamat dunia, pusat peradaban, pendukung demokrasi, dan pembela HAM.
Penguasaan media massa dimanfaatkan juga untuk phsywar (Perang Psikologis) terhadap Islam dan orang-orang yang berjuang untuk Islam. semua makar yang dilakukan Barat pada hakikatnya berfokus pada satu hal: “mereka ingin tetap mendominasi dunia, utamanya dunia islam yang merupakan sumber kehidupan ekonomi mereka”. Hal ini berdasarkan catatan sejarah dan Perang Salib, dunia Islam-lah yang berpotensi menghentikan supremasi dan dominasi Barat dan meleyapkan Israel, sebagai ujung tombak kepentingan Bart/AS di Timur Tengah.
Sesungguhnya perseteruan ideologi akan terus abadi. Pers saat ini didominasi dengan corong liberal, kapital, dan sekular. Seruan-seruannya pun ingin menjauhkan umat dari Islam. Maka tidak heran jika saat ini ada gerakan untuk boikot stasiun TV, terinspirasi dari beberapa aksi besar yang dilakukan umat Islam di Indonesia pada 2016. Publik dan netizen membuat kesepakatan untuk mengusir Metro TV dan Kompas TV jika mereka meliput agenda umat Islam. Bahkan keduanya diberikan julukan sinis dengan Metro Tipu dan Kompas Tipu. Kekesalan ini ada karena kekurangajaran media yang senantiasa menyebar kebohongan khususnya ditujukan untuk umat Islam.
Itulah beberapa penjelasan yang dapat menggambarkan kepada umat Islam bahwa mereka tiada hentinya untuk mengaburkan fakta. Menjadikan fakta sebagai suatu cerita. Serta menjadika cerita itu untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Akankah umat Islam diam melihat ini semua?
Memupuk kesadaran
Umat saat ini seharusnya memiliki kesadaran dalam bermedia dan membaca berita. Tidak sekadar membaca, namun diteliti dan disaring dengan ideologi Islam. Jika pemberitaannya menyudutkan Islam maka termasuk agenda setting untuk pencitraburukan. Jika pemberitaan didominasi orang-orang liberal, sekular, dan kapital maka telah masuk dalam konglomerasi media. Media menjadi hak milik perorangan yang memiliki modal. Sementara yang tak memiliki modal dan akses, sekadar jadi pasar. Bangkit dan berkreasilah wahai umat Islam.
Bersambung…..
(*/arrahmah.com)