Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
(Arrahmah.com) – Harapan pada Hari Pers Nasional (HPN) 2017, media ditekankan untuk menjunjung etika jurnalistik. Faktualitas, objektivitas, dan disiplin dalam melakukan verifikasi tidak boleh luntur dalam pelaksanaannya. Kini media massa memainkan peranan penting dalam proses politik, bahkan menjadi aktor utama dalam politik. Upaya fenomenalisasi dan menjatuhkan kerap ditampilkan di media. Media menjadi alat kepentingan pemerintah tatkala membutuhkannya. Jika media dianggap tidak menguntungkan, tidak segan akan ditutup dan dibredel.
Media dan politik
Hubungan media dengan elit politik itu benci tapi rindu (hate and love), sebagaimana dikatakan senator Orlando Marcado bahwa “It is clear that media need politician, as politician needs media. There are inectricably joined together in a “love-hate” relationship. (Sangat jelas bahwa media memerlukan politisi, sebagai politisi memerlukan media. Ada ketidakmungkinan untuk melepaskan dari kebersamaan bersama dalam hubungan cinta-rindu.)
Membangun hubungan antara media dengan pemerintah tidak mudah, sebab media selain sebagai predictor of political change juga berperan sebagai political actor dalam suatu negara. Media terlibat dalam setiap kepentingan politik. Politisasi media kerap dijumpai dalam beragam pemberitaan. Wacana politik dipublikasikan. Misalnya kolom yang ditulis orang tertentu, feature tentang figur, karikatur. Sementara dalam siaran dalam bentuk iklan politik, debat, talkshows yang bisa diisi oleh para politisi sebagai peluang untuk beriklan tanpa bayar.
Era kebebasan pers saat ini bisa dikatakan bahwa ‘there is no such freedom of press’. Sesungguhnya tak ada kebebasan pers. Mengingat adanya kepentingan politik dan ekonomi. Jika ingin menjadi raja, maka kuasailah pemberitaan dan informasi. Kiranya istilah itu bisa dipakai melihat gelagat politisi yang bermetamorfosis menjadi penguasa sekaligus pengusaha.
Permusuhan antara pers dengan pemerintah dikarenakan media menjalankan fungsinya sebagai watchdog dalam mengontrol jalannya pemerintah. Media tampaknya senang jika memiliki sipa berlawanan dengan pemerintah, padahal hubungan antara keduanya sesungguhnya tidak dibentuk atas dasar permusuhan, melainkan hidup dalam satu kehidupan yang simbiosis dan saling membutuhkan. Media and politician can be the best friends.
Best Friends
Politisi saat ini yang sedang duduk di pemerintahan sesungguhnya telah mendapatkan keberkahan media. Demi sukses duduk di kursi kuasa, tim sukses dibentuk di dunia nyata dan maya. Ragam informasi ditebar bak ‘teror’ kepada rakyat yang akan memilihnya. Keberuntungan itu pula yang telah dinikmati Presiden Joko Widodo yang berhasil naik kelas menuju istana negara.
Jargon media yang netral dan independen itu hanya ada dalam teori. Praktiknya, hal itu tidak penting, karena ada hal yang lebih penting dari segalanya. Kapitalisasi dan liberalisasi media massa akhirnya berbuah pahit berupa pencitraan dan orientasi bisnis dalam pemberitaan informasi. Persaingan dunia media memang sengit. Tak kuat modal dan pembiayaan, bersiap gulung tikar. Karena itu, bisnis media memang bukan bisnis yang menjanjikan apalagi balik modal. Justru itu, sering ada media baik cetak atau siaran yang hanya muncul beberap tahun. Lalu lenyap dan hilang, jika tidak dibeli oleh orang lain.
Pencitraan adalah label mudah bagi politisi yang duduk di pemerintahan. Ambilah contoh Presiden Jokowi. Siapa yang kenal Jokowi pada tahun sebelum 2012? Bisa jadi dikenal sebagai Walikota Solo berprestasi dunia. Sukses membawa Solo. Jika diundur ke belakang, siapa Jokowi sebenarnya? Orang tak akan tahu karena media tidak menyorotnya. Bisa jadi yang kenal beliau sebagai pengusaha mebel sukses. Bandingkan dengan tahun 2012 menjelang Pilgub DKI Jakarta, media begitu heboh mencitrakan sosok Jokowi dari PDI Perjuangan yang siap merubah Jakarta Lebih Baik.
Ide-ide kampanyenya kreatif. Dari media sosial hingga aksi pembuatan iklan politik yang menarik. Jokowi-Basuki menjadi tren dan idaman pemimpin baru yang siap membereskan masalah Jakarta. Masyarakat pun terkesima luar biasa dengan kehadiran Jokowi-Ahok. Kemenangannya disambut gembira. Rakyat mengelu-elukannya. Hingga muncul banyak pendukung buta di media sosial yang kerjanya dibayar demi pencitraan. Masyarakat lupa mencari jawaban, siapa dibalik opini pencitraan Jokowi Ahok? Hingga media mainstream lokal dan internasional tak lupa meliput setiap kegiatannya. Super sekali!
Ada pula konglomerasi. Pasar media merupakan suatu pasar yang memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan jenis pasar lainnya. Media tidak hanya memproduksi suatu barang, tetapi media juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan adalah tayangan program dari media itu sendiri, dan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa sebagai medium untuk menghubungkan antara pengiklan dengan khalayak pengkonsumsi media massa. Media massa mencoba untuk mencari jalan untuk mengefisien dan mengefektifkan produksi mereka agar keuntungan yang mereka peroleh dapat maksimum.
Menghadapi persaingan yang sangat ketat dalam bisnis media massa yang memerlukan kekuatan sosial ekonomi ini, maka terjadi kecenderungan konsolidasi media yang kemudian mengarah kepada munculnya kelompok pemain raksasa media massa yang kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan media massa.
Konglomerasi media tampak pada kepemilikan media. Pemberitaan media bergantung meja redaksi dan owner. Jika pemilik ingin menghancurkan kredibilitas seseorang, maka semua siap menyukseskannya. Ambil contoh kasus Habib Rizieq Sihab. Pelopor geraka bela Islam 1,2, dan 3 itu telah dituding melakukan makar pada Aksi 212, meski tudingan itu tidak dibuktikan. Baru-baru ini, media pun mengungkapkan perbincangan tak senonoh HRS dan Firza Husein, yang ternyata itu penuh dengan rekayasa dan kebohongan.
Pemberitaan yang berkaitan dengan umat Islam, cenderung memojokkan dan dengan nada menakutkan. Pilhan media begitu tidak sopan. Judul beritanya menarik, heboh, dan gebyar. Sayangnya isinya tak sambung dengan judulnya. Pemerintah juga terkadang dibuat kewalahan dalam menanggapi sebuah pemberitaan. Terkadang antar-pejabat tidak ada satu kata. Contoh nyata pada jumlah TKA asal China, izin melakukan aksi 212, dan terbaru aksi 112. Bahkan politisi dan pemerintahan tak segan mengomplain dan melaporkan ragam media yang telah menyudutkannya.
Sebagai pemerintah jangan merasa kebal kritik. Justru kritik itu seperti jamu. Pejabat publik harus mau dikritik, karena jika tugasnya salah maka rakyatlah yang akan melursukannya. Kata Thomas Jafferson, politician who complain about media are like sailors who complain about sea, atau dengan pepatah lama “jangan berumah di tepi pantai jiks takut dilebur ombak, jangan jadi pejabat jika taku dikritik media dan rakyat.
Bersambung….
(*/arrahmah.com)