YANGON (Arrahmah.com) – Militer Myanmar telah mengakhiri operasi yang disebut PBB sebagai operasi pembersihan etnis di wilayah bermasalah Rakhine, sejumlah pejabat pemerintah menyatakan, seperti diungkap Reuters pada Kamis (16/2/2017).
Operasi ini telah berlangsung sejak sembilan polisi tewas dalam serangan di pos keamanan dekat perbatasan Bangladesh pada 9 Oktober tahun lalu. Hampir 69.000 warga Rohingya telah sejak melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh, menurut perkiraan PBB.
Kekerasan itu telah memperbaharui kecaman internasional terhadap pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, bahwa ia tidak berusaha untuk membantu anggota minoritas Muslim.
Pemerintah yang dipimpin oleh pemenang Nobel Suu Kyi ini telah membantah hampir semua tuduhan pelanggaran HAM di Rakhine, termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan Muslim Rohingya.
“Situasi di Rakhine Utara kini telah stabil. Operasi pembersihan yang dilakukan oleh militer telah berhenti, patroli malam telah mereda dan yang tetap berlaku hanya kehadiran polisi untuk menjaga ‘perdamaian’,” penasihat keamanan nasional Myanmar, Thaung Tun, menyatakan, seperti dikutip dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kantor Penasihat Negara pada Rabu (15/2).
“Tidak akan ada alasan untuk menempatkan kekuatan yang berlebihan. Kami telah menunjukkan bahwa kami siap untuk bertindak jika ada bukti jelas terhadap pelanggaran kemanusiaan,” klaimnya kepada sekelompok diplomat dan perwakilan PBB dalam sebuah pertemuan, menurut pernyataan itu
Dua pejabat senior Kantor Presiden dan Departemen Penerangan Myanmar menegaskan bahwa operasi militer di Rakhine Utara telah berakhir namun kekuatan militer tetap ditempatkan di wilayah tersebut untuk mempertahankan “perdamaian dan keamanan”.
Militer Myanmar tidak segera berkomentar terkait hal ini.
Militer dan polisi telah secara terpisah membentuk tim untuk menyelidiki dugaan kejahatan setelah Suu Kyi berjanji untuk menyelidiki tuduhan PBB bahwa militer melakukan kekejaman terhadap minoritas Muslim.
Lebih dari 1.000 Muslim Rohingya mungkin telah tewas dalam kekerasan ini, dua pejabat senior PBB yang berurusan dengan pengungsi melaporkan kepada Reuters pekan lalu.
Muslim Rohingya menghadapi diskriminasi di Myanmar, negera yang dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Buddha selama bergenerasi. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, dan hanya diberi hak yang sangat terbatas. Sekitar 1,1 juta dari mereka hidup dalam kondisi apartheid. (althaf/arrahmah.com)