DHAKA (Arrahmah.com) – Akibat kurangnya makanan, tempat tinggal dan sanitasi yang memadai, banyak pengungsi Muslimah Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh menikah dengan pria lokal dengan harapan bisa mendapatkan kewarganegaraan dan kebutuhan dasar.
Pernikahan tersebut ilegal, dan sering terjadi poligami, perkawinan di bawah umur atau penelantaran, demikian yang dipantau oleh BenarNews selama kunjungannya ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh bagian tenggara, sebagaimana dilansir RB, Kamis (26/1/2017).
Namun kedua belah pihak melihat potensi yang menguntungkan, setidaknya pada awalnya.
Sultan Ahmad, (29), seorang warga Kecamatan Teknaf di Cox Bazar, baru saja menikah dengan Samuda Begum, (16), yang memasuki Bangladesh dari Myanmar tujuh atau delapan tahun yang lalu dan tinggal di kamp Rohingya di Muchhni.
“Istri pertama saya tidak masalah” ungkap Sultan, ayah dari tiga anak, kepada BenarNews.
“Saya tinggal dengan istri pertama saya; Saya sering pergi ke Samuda dan memberinya uang untuk biaya sehari-hari.”
Setelah melintasi perbatasan tiga tahun lalu untuk menghindari kekerasan dan kelaparan di Myanmar, Nazu Begum, (25), menikah dengan seorang pria Bangladesh, akan tetapi pria itu malah meninggalkannya.
“Saya menikah dengan seorang pria yang berasal dari Noakhali dengan harapan bisa mendapatkan kewarganegaraan. Hidup pun mulai terasa damai. Tapi suami saya meninggalkan Teknaf setelah kelahiran anak kedua,” kata Nazu, yang tinggal di Kochubunia, sebuah desa di seberang perbatasan distrik Maungdaw, Myanmar.
Perhatiannya suaminya untuk keluarganya berkurang setelah pekerjaanya sebagai tukang batu di Teknaf tidak terlalu menghasilkan, kata Nazu. Seperti Samuda, dia masih belum memiliki kewarganegaraan.
Tapi Nazu, yang bekerja sebagai pembantu di hotel dan perumahan, tidak memiliki rencana untuk kembali ke Myanmar.
“Saya akan mendidik anak-anak saya di sini dan menetap di sini,” kata Nazu kepada BenarNews.
(ameera/arrahmah.com)