(Arrahmah.com) – Kejahatan dalam bentuk premanisme masih terus terjadi. Aksi pemalakan, kekerasan dan kerusuhan oleh kelompok preman tak kunjung terhenti. Masyarakat masih dicekam rasa tidak aman menyusul meningkatnya rangkaian tindak kekerasan. Kasus paling akhir Pembunuhan yang diduga dilakukan kawanan perampok di Jalan Pulomas Utara nomor 7A, Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (28/12/2016) dini hari dinilai tindakan keji. Banyak yang tak habis pikir dengan kekejaman yang dilakukan oleh pelaku. Komplotan sengaja menumpuk 11 orang di dalam sebuah kamar mandi berukuran 2 x 1 meter.
Kriminalitas makin marak akibat terpuruknya nilai-nilai sosial di tengah masyarakat. Masyarakat gampang melampiaskan amarah melalui kekerasan. Pudarnya nilai-nilai sosial itu juga tampak dalam kerusuhan di sejumlah pilkada dan tawuran antar warga. Kian pudarnya nilai sosial di tengah warga, juga tampak dari makin maraknya tindak pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Pelaku tidak lagi punya rasa malu dan kasihan kepada korban.
Dalam contoh kasus berikutnya, tindakan nekat menyerang aparat kepolisian menjadi pertanda hilangnya wibawa aparat keamanan di mata pelaku kejahatan. Mereka tidak takut menargetkan polisi sebagai korban. Karenanya banyak kalangan mengkhawatirkan kekerasan terhadap aparat kepolisian akan terus berlanjut, apalagi para pelakunya hingga kini belum tertangkap. Hal itu juga menjadi tanda bahwa hukum sudah tidak lagi ditakuti oleh para pelaku. Terbukti di dalam penjara saja banyak terpidana yang masih bisa menjalankan bisnis narkoba.
Sesuatu yang bisa diindera adalah bahwa peradilan sekarang ini mustahil bisa menetapkan hukum dengan adil. Pada saat hukuman dijatuhkan pada ‘rakyat kecil’ yang melakukan tindak kejahatan tanpa penundaan sedikitpun, Anda temukan para pejabat yang duduk di kekuasaan negara bagaimanapun kezaliman dan penyerangan yang mereka lakukan, mereka tidak dihukum sama sekali, mungkin dengan alasan ‘hak imunitas’. Selama ini hukum hanya tajam ke bawah kepada rakyat kecil dan sebaliknya tumpul ke atas kepada pejabat, politisi dan pemilik modal.
Dalam masalah ini kita tidak boleh lupa dengan kejadian yang terjadi antara Umar ra., dan qadhi Syuraih yang sangat membekas. Diriwayatkan bahwa amirul mukminin Umar bin al-Khaththab ra., membeli seekor kuda dari seorang laki-laki kampung dan ia membayar harga kuda itu kemudian ia menungganginya dan berjalan dengannya. Akan tetapi belum jauh kuda itu berjalan hingga tampak cacatnya untuk terus berjalan, maka ia segera kembali lagi dan berkata kepada laki-laki kampung itu: “ambil kudamu, kuda ini cacat”. Laki-laki itu berkata: “aku tidak mau mengambilnya ya amirul mukminin. Aku tadi menjualnya kepadamu sehat tanpa cacat”. Umar berkata: “tetapkan hakim di antara kita”. Laki-laki itu: “yang memutuskan di antara kita adalah Syuraih ibn al-Harits al-Kindi”. Umar berkata: “aku rela dengannya”. Amirul mukminin Umar bin al-Khaththab dan pemilik kuda itu menyerahkan keputusan kepada Syuraih. Ketika Syuraih mendengar perkataan orang kampung itu, ia menoleh kepada Umar bin al-Khaththab dan berkata: “wahai Amirul mukminin apakah Anda mengambil kuda itu sehat tanpa cacat?” Umar menjawab: “benar”. Syuraih berkata: “simpanlah apa yang Anda beli wahai Amirul mukminin atau kembalikan apa yang Anda ambil..” Umar memandang takjub kepada Syuraih dan berkata: “tidak ada keputusan kecuali demikian, perkataan yang membedakan antara hak dan batil dan keputusan yang adil. Pergilah ke Kufah aku telah mengangkatmu menjadi Qadhi di sana.”
Sementara, para hakim di dalam sistem sekarang tidak mempedulikan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat demi menjaga kepentingan dan nilai-nilai sekelompok orang berpengaruh dan pemegang urusan. Akan tetapi sebaliknya mereka menghukum masyarakat karena berpegang kepada nilai-nilai masyarakat. Meskipun kekayaan umat ditelantarkan, kaum kafir merampoknya di bawah slogan privatisasi; di sisi lain Anda temukan orang-orang yang berupaya menegakkan sistem peradilan Islami dan berjuang untuk menjalankan kepentingan-kepentingan mereka sesuai dengan hukum-hukum syara’ justru diperlakukan sebagai radikalis yang harus ‘diisolir’.
Semua itu hanyalah sebagian kecil dari bukti bobroknya sistem hukum di negeri ini. Kerusakan sistem hukum itu disebabkan oleh dua hal utama: Pertama, karena memang hukumnya sendiri rusak. Sebab hukum yang ada adalah hukum buatan manusia yang tidak bisa lepas dari kepentingan disamping terbatas pengetahuannya dan lemah. Selama hukum yang dipakai masih hukum buatan manusia, maka selama itu pula kerusakan hukum akan terus terjadi. Kedua, karena aparat penegak hukum banyak yang bengkok dan rusak. Kebengkokan dan kerusakan aparat penegak hukum itu dipengaruhi dan mempengaruhi sistem hukum yang rusak. Hukum yang rusak akan makin rusak dengan aparat yang rusak.
Untuk mewujudkan sistem hukum yang baik, yang bisa memberikan keadilan dan menjamin rasa keadilan untuk masyarakat, maka yang pertama harus dilakukan adalah mengganti hukum produk manusia dengan hukum-hukum Islam. Selanjutnya aparat penegak hukum haruslah aparat yang memiliki ketakwaan dan paham benar terhadap hukum-hukum Islam. Untuk itu aparat yang ada bisa diperbaiki dengan membina ketakwaan mereka dan memahamkan mereka dengan hukum-hukum Islam.
Karena itu, tidak mungkin terealisasi keadilan kecuali jika perundang-undangan di atas dinilai sebagai undang-undang yang batil dan tidak adil. Di dalam sistem demokrasi, pembuat hukum adalah manusia menggantikan Allah pemilik sesungguhnya atas hak menetapkan hukum. Sementara Islam sama sekali tidak memberikan kepada Khalifah atau Majelis Umat hak untuk membuat atau merubah hukum syara’ seperti yang dilakukan oleh sistem diktator dan sistem demokrasi yang memberikan hak kepada manusia untuk menilai apa yang legal dan yang tidak legal. Ketika Islam diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam Daulah Khilafah, niscaya terwujud kebahagiaan dan ketenteraman di tengah masyarakat, sesuatu yang tidak mampu diwujudkan oleh ideologi-ideologi dan sistem-sistem buatan manusia. Rabb kita telah memperingatkan kita untuk tidak memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan oleh-Nya. Allah mensifati orang yang memutuskan perkara dengan selain hukum yang diturunkan-Nya sebagai orang yang zalim. Allah SWT berfiman:
Siapa saja yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang yang zalim. (TQS. Al-Maidah [5]: 45)
Kami ingin mengingatkan umat bahwa di bawah sistem sekarang ini yang diwarisi dari perundang-undangan Barat, maka hakim siapapun tidak akan mampu mewujudkan keadilan di tengah masyarakat, dan masyarakat akan tetap menderita karena perundang-undangan ini hingga Islam diterapkan secara menyeluruh di bawah Daulah Khilafah.
Umar Syarifudin (Syabab Hizbut Tahrir Indonesia)
(*/arrahmah.com)