Oleh: Abu Fikri (Analis PKDA/Pusat Kajian Data dan Analisis)
(Arrahmah.com) – Pasca aksi super damai 212 banyak hikmah bisa dipetik. Mulai dari pentingnya menjaga dan senantiasa meningkatkan ghirah Islamiyah, memperkuat silaturahim hingga menatap latar di balik peristiwa demi peristiwa. Aksi Bela Islam I, II dan III. Seolah menutup rangkaian perjalanan berbagai dinamika persoalan semua bidang di akhir tahun 2016. Sembari menanti adakah peristiwa paling akhir tahun ini. Sebagaimana dipahami bahwa konstelasi politik nasional dan global tidak bisa diprediksikan. Terjadi penangkapan kurang lebih 10 orang tokoh nasional pada ujung aksi damai 212. Diantaranya terdapat 2 orang jendral purnawirawan TNI AD dengan dugaan makar. Memunculkan spekulasi politik apa yang akan terjadi kemudian. Ada apa dengan internal Polri. Ada apa pula dengan internal TNI. Ada apa dengan hubungan TNI Polri.
Seraya melengkapi friksi berbagai internal parpol. Ironisnya pemandangan friksi internal dan antar institusional yang direpresentasikan oleh friksi antar elit politik itu bukan dalam kerangka membangun sebuah keberdayaan kemandirian negara. Melainkan di balik semakin kuatnya cengkeraman neo imperialisme asing dan aseng melalui pintu investasi.
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa investasi adalah kata kunci kebijakan negara yang sangat rasional logis untuk meyakinkan rakyat tentang jaminan pemenuhan kesejahteraan melalui kampanye pentingnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Dimana radikalisme selalu disisipkan diantaranya sebagai bumbu sedap dalam sorotan lintasan peristiwa penting. Sebagaimana disampaikan oleh Kadiv Humas Mabes Polri deretan beberapa nama yang disinyalir ikut dan mengancam memanfaatkan aksi super damai 212 termasuk dalam jaringan ISIS. Meski asumsi itu ternyata tidak terbukti.
Bahkan radikalisme dan terorisme semakin intens dibahas dan dirumuskan seperti halnya forum internasional melibatkan negara-negara seperti Amerika, Australia dan lain-lain yang saat ini difasilitasi oleh Walikota Risma di Surabaya. Termasuk munculnya kembali semangat untuk memperkuat legal of frame mengendalikan ormas dalam koridor kepentingan penguasa status quo dengan melontarkan wacara revisi UU Ormas yang dikabarkan menjadi prolegnas 2017 oleh Tjahyo Kumolo (Kemendagri RI). Sementara di sisi lain Ahok sebagai sentral sorotan seakan-akan masih memerlukan proses panjang. Seperti tidak terpengaruh oleh semangat desakan umat jutaan jumlahnya baik pada aksi 411 maupun 212. Ada yang memprediksikan segera ditahan. Ada pula yang memprediksikan bisa terbebas. Semua diminta untuk menunggu dan menghormati proses hukum penistaan agama oleh Ahok. Dan menerima keputusan hukum apapun. Di satu sisi opini bahwa tidak boleh keputusan hukum diintervensi oleh desakan umat. Di sisi lain berusaha menutup mata kuatnya dugaan back up di belakang Ahok dari para cukong dan kekuatan internasional. Dengan dalih perlunya data sebagai argumentasi pembenaran menang atau kalahnya proses hukum. Tidak bisa ditolak kesan begitu saratnya intervensi politik pada proses hukum Ahok ini. Disinilah urgensi perang pengaruh mempengaruhi terjadi.
Statement Jokowi di akhir aksi 212 terlihat bernuansa diplomasi. Seakan-akan tidak menyentuh substansi. Apresiasi an sich terhadap aksi do’a bersama dan sholat Jum’at berjamaah super damai untuk negeri menjadi bukti. Bahwa tuntutan Ahok ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka seperti jauh panggang dari api. Apalagi ditunjukkan dengan aksi tandingan berikutnya penuh dengan pretensi. Meski Habib Rizieq mengancam akan melakukan revolusi jika tuntutan tidak dipenuhi.
Bagaimana seharusnya dan sesungguhnya umat Islam sebagai kekuatan politik menyikapi ? Di tengah kuatnya rekayasa dan intervensi kepentingan para elit politik dan penguasa. Akankah muncul menjadi sebuah kekuatan politik yang memiliki agenda tersendiri ? Ataukah terjebak atau dibelokkan dengan kanalisasi kepentingan politik hingga memandulkan arah perjuangan ?
Tarik ulur kekuatan penguasa status quo dengan segala keberpihakan kebijakan negaranya terhadap asing dan aseng dengan kekuatan politik yang berkeinginan kembali kepada UUD 1945 asli tidak bisa dihindari. Termasuk kompetisi kontestasi Pilkada di DKI Jakarta penuh manuver. Di tengah kaum muslimin gamang secara terang terangan menyuarakan perjuangan yang sama untuk menerapkan syariat Islam sebagai sistem dan hukum negara. Berbagai dalih dan penolakan atasnya yang lebih berisi propaganda opini media dikombinasikan dengan operasi adu domba pada tubuh internal kaum muslimin seolah tiada henti. Isu aksi “lempar jumrah” pasca 212 dibalas dengan “hadang lempar jumrah”. Siapa mengambil keuntungan apa, siapa pemesan sebenarnya dari kondisi “chaos” adalah beberapa pertanyaan dari deretan pertanyaan yang harus bisa dikuak. Sekalipun semua itu adalah wujud phobia (ketakutan) berlebihan terhadap semakin kuat dan besarnya kekuatan politik umat Islam. Dari waktu ke waktu. Dan peristiwa demi peristiwa.
Dorongan keyakinan menyongsong syahid dalam aktifitas bernama Jihad telah menjadi simbol perjuangan yang sangat menakutkan. Sebuah antitesa perjuangan dalam bingkai Demokrasi penuh dengan buaian gila dunia dan takut akan kematian. Al Jihad Sabiluna nampaknya telah menjadi kalimat perekat dari berbagai simpul dan elemen kekuatan umat. Dzikir dan dakwah menjadi penopangnya. Masalahnya adalah bisakah seluruh simpul kekuatan umat islam menjadi satu kekuatan utuh terkait satu negara yang satu dengan negara yang lain dengan kondisi tidak hadirnya komando yang mengendalikan semuanya. Disinilah urgensi penting hadir dan eksisnya keberadaan institusi global representasi umat Islam sedunia untuk menghadapi arogansi Amerika yang saat ini mendominasi dan memecah belah kaum muslimin di berbagai negara. Termasuk memainkan China dalam percaturan politik di kawasan Asia Tenggara. Keberadaan institusi umat Islam, menaungi peradaban agung manusia yang diharapkan menggerakkan seruan Jihad Global seluruh negeri-negeri muslim. Sebuah institusi atas dorongan keyakinan, keniscayaan historis dan kebutuhan empiris di tengah segera tumbangnya berbagai bangunan nation state berbagai negeri muslim di atas dasar ideologi negara kapitalis liberal sekuler. Sebuah institusi bernama khilafah islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah.
Sayangnya khilafah Islamiyah sebagai alternatif konseptual tidak berani secara jujur dibedah menjadi sebuah alternatif diskursus kenegaraan. Sebaliknya disikapi penuh dengan sinis dan prejudice. Bahkan cenderung kaku dan represif. Dengan kerangka dogma politik NKRI harga mati. Sementara menyisakan tafsir implementatif empiris yang bertolak belakang. NKRI harga mati di antara bayang-bayang kuatnya cengkeraman neo liberalisme dan neo imperialisme. NKRI harga mati di tengah potensi disintegrasi embrio dari pemisahan wilayah RI. Pada akhirnya dogma politik NKRI harga mati hanyalah bentuk legitimasi antara kepentingan politik dan kekuasaan status quo.
Padahal problem kenegaraan yang ada di negeri ini bukan hanya soal tambal sulam orang melainkan juga compang campingnya sistem. Mengganti orang dengan tetap tidak berdaya bahkan menjadi antek asing dan aseng sebagai penguasa adalah satu persoalan. Melabeli Demokrasi atau NKRI dengan tambahan syariah dan islam sebagai sistem negara tidak mampu merubah urgensi perubahan mendasar dan komprehensif.
Umat islam harus jeli melihat dinamika konstelasi politik. Di tengah tingginya ghirah islamiyah dan semakin tebalnya semangat silaturahim. Dan datangnya seruan revolusi. Jangan sampai dimanfaatkan hanya sekedar sebagai perjuangan tambal sulam baik rezim maupun sistem.
Sebagai perpanjangan strategi makar kafir muharibban fi’lan Amerika yang sedang memainkan rivatalitasnya China di Indonesia. Sebuah representasi pertaruan ideologi global kapitalis liberalis sekuleris dengan Sosialisme Komunisme di Indonesia yang memiliki posisi geoekonomipolitik sangat strategies dan kekayaan alam yang sangat melimpah. Dimana kekuatan politik umat islam berada di tengah-tengahnya dan menjadi korban dari segala permainan ini.
Sesungguhnya perubahan hakiki hanya bisa direalisasikan dengan ganti rezim dan ganti sistem secara sepenuhnya. Energi kekuatan kesatuan umat Islam melalui QS Al Maidah ayat 51 adalah simbol kekuatan Islam yang mengandung hikmah besar di baliknya. Sebuah hikmah yang menunjukkan bahwa bukan saja penistaan terhadap QS Al Maidah ayat 51 saja melainkan penistaan atas seluruh kandungan Al Qur’an sebagai aturan penyempurna kehidupan manusia karena tidak diterapkan secara menyeluruh dan kafah harusnya bisa menghimpun kesatuan seluruh umat Islam hingga mengantarkan kepada arti pentingnya perubahan hakiki Ganti Rezim dan Ganti Sistem secara sepenuhnya. Itulah satu-satunya solusi tuntas berbagai persoalan sistemik yang mendera di berbagai negeri muslim termasuk Indonesia. Inilah tanda tanda kekuasaan Alloh melalui peristiwa demi peristiwa besar di negeri ini. Allahu a’lam bis showab.
(*/arrahmah.com)