JAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Mujahidin meminta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk segera menangkap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tersangka pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam paaal 156 a KUHP, dan menafikan intervensi asing terhadap institusi Polri.
Dalam suratnya kepada Kapolri Jenderal Polisi Drs. H. M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D., intitusi Majelis Mujahidin menolak keras intervensi politik asing, dalam hal ini Amnesty International yang meminta Polri menghentikan penyidikan kasus Ahok.
Majelis Mujahidin mengkritik, mengapa Ahok masih bebas berkeliaran padahal sudah jadi tersangka penista Al-Qur’an? Apalagi, menurut Majelis Mujahidin, karakter ‘bawaan’ Ahok yang konon diakuinya suka bicara kasar dan tidak terkontrol sebagaimana dia mendramatisir ucapan Presiden Jokowi dan pihak tertentu mengetahui demo 4 November itu dibayar 500 ribu per orang.
Untuk itu Majelis Mujahidin mendesak polisi segera menangkap Ahok.
“Saatnya peyidik cq kepolisian segera menangkap Ahok berdasar penegakan hukum, supaya dia tidak menebar fitnah ke mana-mana membela kasusnya, sekaligus membuktikan bahwa Polri bertindak profesional tidak terpengaruh intervensi siapapun, termasuk agen asing Amnesty Internasional. Jika tidak, maka umat Islam akan terus beraksi hingga Ahok si penista Al-Qur’an dan ulama di Bui,” tulis surat yang ditandatangani Ketua Irfan S Awwas, Sekretaris M. Shabbarin Syakur dan Amir Ustadz Drs. Muhammad Thalib itu.
Berikut selengkapnya surat Majelis Mujahidin kepada Kapolri yang ditembuskan kepada media Arrahmah.com Jumat (18/11/2016)
Kepada :
KAPOLRI
Jenderal Polisi Drs. H. M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D.
Di- Jakarta
Intervensi politik Amnesty International, yang meminta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menghentikan penyidikan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan alasan:
Pertama, penetapan Ahok sebagai tersangka terjadi karena Polri lebih khawatir pada tekanan kelompok keagamaan garis keras, ketimbang menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
Kedua, penetapan Ahok sebagai tersangka sebagai sesuatu hal yang kontroversial, karena para penyidik berbeda pendapat tentang apakah kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan atau tidak.
Ketiga, Penetapan Ahok sebagai tersangka, menunjukkan pemerintah tak sepenuhnya melindungi semua pemeluk agama di Indonesia.
Sikap Amnesty International, yang kemudian mendesak pemerintah untuk mencabut aturan hukum tentang penistaan yang digunakan untuk menjerat pihak-pihak tertentu dari kelompok minoritas, merupakan sikap paranoida dan pelecehan terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.
Rafendi Djamin direktur International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, sebagai agen asing tidak berhak melakukan intervensi kebijakan perlindungan hak asasi manusia melalui penegakan hukum terhadap Ahok si penista agama dan ulama. Apalagi menuduh tanpa fakta dan data bahwa penegakan hukum tersebut didesak oleh komunitas keagamaan garis keras. Bahkan patut dicurigai Amnesty Internasional ikut andil dalam tindakan kekerasan pada demo 4 November 2016 sebagai justifikasi terhadap asumsi mereka bahwa para pendemo merupakan kelompok keagamaan garis keras.
Setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, rakyat menunggu profesionalitas polisi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kapolri Jend. Tito Karnavian mengancam, “setelah penetapan Ahok sebagai tersangka, jika ada aksi demo lagi berarti inkonstitusional”. Bagaimana mungkin, Kapolri secerdas Tito Karnavian, akan melindungi seorang penista Al-Qur’an dengan menihilkan hak konstitusional rakyat melakukan demonstrasi yang dilindungi undang-undang?
Seharusnya, setelah dinyatakan tersangka Ahok ditangkap bukan sekedar dicekal ke LN. Dahlan Iskan baru dijadikan tersangka korupsi langsung ditahan. Begitupun Fadhilah Supardi, dijadikan tersangka suap alat kesehatan langsung ditangkap. Padahal keduanya mantan menteri negara. Sejumlah aktivis mahasiswa muslim yang baru dicurigai sebagai ‘provokator’ rusuh demo 4 November 2016, langsung ditangkap dan ditahan.
Mengapa Ahok masih bebas berkeliaran padahal sudah jadi tersangka penista Al-Qur’an? Apalagi karakter ‘bawaan’ Ahok yang konon diakuinya suka bicara kasar dan tidak terkontrol sebagaimana dia mendramatisir ucapan Presiden Jokowi dan pihak tertentu mengetahui demo 4 November itu dibayar 500 ribu per orang.
Saatnya peyidik cq kepolisian segera menangkap Ahok berdasar penegakan hukum, supaya dia tidak menebar fitnah ke mana-mana membela kasusnya, sekaligus membuktikan bahwa Polri bertindak profesional tidak terpengaruh intervensi siapapun, termasuk agen asing Amnesty Internasional. Jika tidak, maka umat Islam akan terus beraksi hingga Ahok si penista Al-Qur’an dan ulama di Bui.
“Maka serahkanlah kepada-Ku urusan orang-orang yang mendustakan Al-Qur’an. Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-Qalam, 68:44)
Semoga Kapolri Jenderal Polisi Drs. H. M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D bernyali bukan untuk mengancam rakyat sebagai pihak korban tersakiti, tetapi segera menangkap Ahok si penista Kitab Suci Al-Qur’an. Dan kemudian, menolak intervensi asing ikut campur urusan penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana kedatangan saksi ahli ‘import‘ Syekh Amr Wardani ulama Al-Azhar Mesir yang gagal dan Amnesty Internasional yang diskriminatif, sehingga tidak memperburuk situasi dan kondisi NKRI. Terima kasih.
Yogyakarta, 18 Shafar 1438/ 18 November 2016
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(azmuttaqin/arrahmah.com)