JAKARTA (Arrahmah.com) – Kasus peledakan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, Ahad (13/11/2016) merupakan dampak dari kelalaian aparat keamanan dalam memantau pergerakan mantan narapidana kasus terorisme.
Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin, mengungkapkan, satu dari tiga pelaku pelempar bom molotov yang tertangkap diketahui bernama Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia yang pernah dipenjara dalam kasus terorisme.
Joh sendiri, kata Tubagus Hasanuddin, pernah menjalani hukuman pidana sejak 2012 akibat terlibat kasus peledakan bom buku di Jakarta pada 2011. Ia pun divonis 3,5 tahun dan dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri, 28 juli 2014.
”Kalau bebas bersyarat, berarti dia wajib lapor. Tentunya, napi yang bebas bersyarat kan wajib dipantau oleh polisi. Apalagi kasusnya terorisme. Kok dia bisa pergi ke Kalimantan. Apalagi sampai bisa ngebom,” kata Tubagus Hasanuddin dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (14/11).
Ironisnya, sambung Tubagus Hasanuddin, kasus pelemparan bom molotov itu merenggut nyawa seorang balita. Memang pelaku melempar bom molotov. Tapi, faktanya ada korban jiwa. ”Ini kanse buah ironis,” sesalnya.
Oleh karena itu, Tubagus Hasanuddin meminta Polri, BIN dan BNPT untuk meningkatkan pengawasan terhadap jaringan orang-orang yang sudah masuk dalam daftar pengawasan terorisme dan yang pernah berhubungan.
Selain itu, data intelijen dari semua elemen intelijen dikompilasikan secara komprehensif, agar menghasilkan kesimpulan intelejen yang akurat. ”Data akurat itulah dapat digunakan untuk melakukan pemberantasan teroris di lapangan. Tanpa data akurat kita akan kecolongan,” ucap Politikus PDIP itu
(azm/arrahmah.com)