(Arrahmah.com) – Meningkatnya fenomena rasisme dan muslim phobia meningkat pasca kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat (AS). Berbagai organisasi sipil menerima ratusan laporan mengenai ujaran kebencian dan ancaman kekerasan fisik yang tertuju kepada kaum Muslim di media sosial. Demikian seperti dilansir The National, Sabtu (12/11). Bukan hanya di dunia maya. Setelah pemilihan umum pada Selasa lalu, umat Islam AS banyak mengalami diskriminasi. The National menyebutkan sejumlah kasus, antara lain, perempuan Muslim yang dicerca lantaran mengenakan hijab di jalan, anak-anak mengalami kekerasan verbal di sekolah, dan fasilitas umum milik umat Islam dicorat-coret.
Muslim phobia yang mengaitkan muslim dengan terorisme juga bisa digunakan oleh Barat untuk melegitimasi kejahatan mereka terhadap Dunia Islam. Dengan begitu, siapapun yang mengkritik kebijakan penjajajahan Barat di Dunia Islam akan dituding teroris. Mengkritik kebijakan Barat di Afghanistan, Irak dan Suriah akan dituding pro teroris.
Siapapun yang mengecam pembunuhan yang dilakukan oleh Zionis Israel di Palestina akan dituding pro Hamas, dan itu berarti mendukung teroris. Siapapun yang menentang nilai-nilai Barat seperti liberalisme dianggap mengancam kepentingan negara. Umat Islam yang menyerukan jihad untuk melawan penjajahan Israel di Palestina dituding sebagai penyeru kebencian.
Bicara rasisme, tidak hanya Amerika Serikat yang berjuang dengan rasisme atau yang memungkinkan orang-orang di media dan di dunia politik untuk untuk mengekspresikan pandangan rasis di bawah kedok berlabelkan wacana politik. Negara-negara sekuler Eropa lainnya juga memungkinkan para politisi dengan keyakinan rasis yang buruk terhadap kaum Muslim dan Islam untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka, dan memberikan lisensi kepada kaum fasis sayap kanan. Media-media Jerman, Italia, Yunani, Perancis, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya gencar mempropagandakan isu rasisme dan radikalisme melalui berbagai partai atau organisasi.
Amerika mendaku telah sukses melakukan reformasi modern atau sosial, ironisnya masih menyimpan konflik seperti api dalam sekam : kulit hitam atau kulit putih. Keistimewaan kulit putih dibahas karena membawa konotasi negatif, sebab orang kulit putih pada dasarnya lolos dari ketidakadilan dan menikmati kualitas hidup yang lebih baik daripada orang kulit hitam. Supremasi kulit putih memberikan orang kulit putih otoritas atas ras lain hanya karena warna kulit mereka yang lebih putih. Sebab, banyak orang mengklaim bahwa kulit putih mendapatkan otoritas tidak tertulis atas orang-orang kulit hitam. Berbagai peristiwa ketidakadilan menyebabkan reaksi di masyarakat. Meskipun Amerika menggembar-gemborkan adanya persamaan hak, tidak ada diskriminasi, dan hukum yang ketat terhadap bias rasial atau etnis, namun situasi dalam kehidupan sehari-hari justru membuktikan bahwa permusuhan terhadap ras lainnya masih seperti tahun 1960-an (periode yang terkenal sebagai Gerakan Hak-hak Sipil).
Teror terhadap orang-orang kulit hitam di Amerika sudah meluas dan kasus-kasus tindakan polisi yang secara brutal memukuli, menyetrum dan menembak orang-orang kulit hitam tidak bersenjata telah menyebabkan ketakutan yang terus-menerus dan kemarahan, yang telah mendidih sepanjang dua tahun lalu pada apa yang disebut sebagai Kerusuhan Ferguson yang mulai terjadi setelah seorang pria kulit hitam lain ditembak oleh polisi di kota Ferguson, di St Louis County, pada tanggal 9 Agustus 2014. Hakim memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan atas pembunuhan itu.
Garis kebijakan propagandis media massa Barat jauh berbeda dengan klaim mereka menyuguhkan realita kepada masyarakat sebagai asas keempat demokrasi. Media Barat kerap menampilkan peristiwa tak pantas, kemudian disampaikan sebagai berita biasa serta kejadian yang begitu penting mereka tampilkan sebagai peristiwa luar biasa. Berbagai riset yang digelar menunjukkan bahwa iklan dan propaganda media Barat dalam menyampaikan berita berpengaruh besar dalam membentuk opini publik.
Charies Moore dalam sebuah artikelnya yang dimuat Majalah Times tahun 2005 menyebutkan, di Inggris orang berbicara dengan bahasa Inggris yang kental. Pengikut Kristen dan warga kulit putih adalah warga negara ini dan jika ada pemikiran bahwa umat Islam serta warga kulit berwarna dikategorikan sebagai warga Inggris maka hal ini sangat menakutkan. Pandangan Moore ini mewakili apa yang sebenarnya terjadi di Eropa dan strategi media massa mereka khususnya terkait masalah imigran. Mayoritas media Barat memuat informasi tak benar tentang ras sehingga pengetahuan masyarakat terpecah-pecah. Warga sendiri tidak begitu antusias untuk menyelidiki kembali informasi yang mereka dapatkan serta merasa cukup dengan informasi tersebut. Selain itu, media massa ini lebih banyak menyebut para imigran sebagai beban, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai swamping (orang-orang yang takut tenggelam di laut).
Riset luas soal ras dan imigran dalam beberapa tahun terakhir semakin besar dan sebagiannya menfokuskan pada peran media dalam menampilkan wajah imigran atau etnis minoritas. Media Barat juga mendiktekan bahwa kekerasan merupakan pembawaan dan budaya imigran asing sehingga hal ini menimbulkan ketakutan di tengah warga pribumi. Bahkan warga muslim pribumi pun mereka cap sebagai manusia-manusia aneh. Hal ini banyak ditemukan di abad-abad lalu dan dalam catatan perjalanan orang-orang terkenal, namun di dekade 80-an dan 90-an kondisi ini semakin memuncak.
Krisis negara Barat yang mereka alami di kawasan Timur Tengah, khususnya Teluk Persia serta berubahkan kasus regional menjadi internasional membuat berita-berita negara Islam ramai memadati halaman media massa. Hal ini dibarengi dengan munculnya istilah baru mengenai rasisme. Disinilah, Islamphobia memasuki arena politik dan media massa Barat. Terlebih setelah peristiwa 11 September, Islamphobia semakin menjadi isu utama media Barat dan para pejabat yang berusaha memanfaatkannya demi kepentingan mereka, khususnya berita santer mengenai al-Qaeda dan Osama bin Laden.
Mereka berusaha menjadikan isu al-Qaeda dan Osama bin Laden sebagai isu umum mengenai umat Islam. Mereka juga berusaha keras menampilkan Islam sebagai agama kekerasan. Untuk mensukseskan ambisinya ini, para petinggi Barat menggunakan berbagai sarana seperi industri perfileman dan permainan game komputer. Seluruh sarana ini mereka manfaatkan guna menampilkan citra buruk Islam di tengah-tengah warga Barat dan Eropa.
Pasca peristiwa 11 September, kita menyaksikan maraknya media Barat yang menfokuskan pemberitaan dan analisnya tentang Islam serta pengikutnya. Bahkan sempat melonjak sampai 500 persen di sejumlah isu. Eskalasi pemberitaan dan analis ini mayoritasnya dilakukan oleh kubu radikal. Lagi pula di analisa mereka sangat kecil terlihat penjelasan mengenai tipe muslimin dan kondisi kekinian masyarakat muslim. Sementara itu, muslim Eropa bukan hanya menghadapi diskriminasi baik ras maupun mazhab, namun juga pelecehan dan penghinaan.
Salah satu kejahatan terbesar HAM di Eropa dan dunia terjadi di wilayah Balkan, tepatnya di Bosnia Herzegovina sekitar dua puluh tahun silam. Perang berdarah di Bosnia di dekade 90-an tidak memperoleh perhatian dari pihak manapun. Perang yang dikobarkan Serbia dan mengaku sebagai pemeluk Kristen murni di Eropa ini mengambil korban puluhan ribu warga sipil.
Masoud Shajarah, ketua Komisi HAM Islam Inggris mengatakan,”Jika anda memperhatikan aksi teror di Eropa dalam sepuluh tahun lalu baik pelakunya person atau kelompok maka hanya dua persen yang memiliki latar belakang Islam. Namun sangat disayangkan media Barat melalui propaganda Islamphobia terus berusaha mensukseskan ambisinya dan elit politik pun berusaha memenangkan pemilu dengan mengusung slogan anti Islam.”
Oleh karena itu, meskipun menunjuk dirinya sendiri memiliki cara terbaik untuk mengatur negara dan menciptakan, masyarakat yang harmonis, dan beradab sistem sekuler telah membuktikan berkali-kali bahwa dia telah gagal untuk menangani masalah yang paling dasar dari rasisme di antara para penguasa atau rakyat yang diperintahnya. Memang, pandangan liberal terhadap kebebasan berekspresi maupun tujuan pluralisme telah mengukuhkan suatu hiburan atas pandangan fanatik dan partai-partai rasis, dengan memberikan mereka sebuah platform terbuka untuk mengekspresikan racun xenophobia tanpa menimbulkan kehebohan. Benar-benar tidak masuk akal untuk memiliki undang-undang yang menentang untuk menghasut kebencian rasial tapi kemudian memberikan para politisi dan media kebebasan untuk mempromosikan pandangan menjijikkan itu dengan mengatas namakan kebebasan berbicara yang menyesatkan. Namun, sifat kontradiksi seperti itu mendefinisikan sistem sekuler.
Sangat jelas, Islam benar-benar mengutuk rasisme pada setiap bentuknya dan melarang pengungkapannya di masyarakat sejak 1400 tahun yang lalu. Islam mengadopsi pendekatan zero tolerance atas keberadaannya atau mempromosikannya dan berusaha untuk memberantas hal itu dari masyarakat. Memang, Bilal (ra), seorang budak berkulit hitam dibebaskan dengan diberi kehormatan besar menjadi muazzin pertama di Madinah. Nabi (SAW) bersabda tentang ‘Assabiyah’ (kesukuan atau nasionalisme atau rasisme), “Tinggalkanlah. Itu adalah hal buruk.”
Islam juga benar-benar menolak fitnah terhadap minoritas dan keyakinan agama mereka. Tapi di samping itu, Nabi (SAW) menunjukkan kebijakan dalam negeri yang tepat yang digunakan untuk menciptakan harmoni dan kohesi sosial diantara masyarakat dari agama-agama yang berbeda pada saat menjadikan Madinah sebagai negara pertama yang diperintah oleh dengan aturan Islam. Di antara kaum Muslim, beliau mendefinisikan aqidah Islam sebagai satu-satunya dasar yang di atasnya mereka harus terikat, dengan menolak ikatan ras yang memecah belah atau kebangsaan. Dan di antara kaum Muslim dan non-Muslim di negara Madinah, beliau menjadikan kewarganegaraan sebagai dasar ikatan mereka, dengan mendefinisikan hak-hak atas semua warga negara secara sama terlepas dari ras atau agama mereka, termasuk perlindungan dari keyakinan agama.
Ketika keyakinan, nilai-nilai dan hukum sekuler Barat, kejahatan, amoralitas, ketidakadilan, kemiskinan, perpecahan keluarga, pelecehan dan ketegangan antara orang-orang dari keyakinan yang berbeda semakin meledak. Meluasnya depresi dan kecemasan tidak bisa dicegah. Berbagai penderitaan yang terjadi dalam masyarakat kapitalis karena cacat nilai dan hukum buatan manusia harus dihapuskan. Karena itu, sesungguhnya Islamlah obat mujarab untuk penyakit-penyakit dan kesehatan sosial yang buruk dari negara-negara Barat.
Umar Syarifudin – Syabab HTI (Pengamat Politik Internasional)
(*/arrahmah.com)