(Arrahmah.com) – Rangkaian aksi damai telah berlangsung secara stimultan mengutuk pelecehan al Qur’an dan menuntut agar pemerintah berpihak pada aspirasi umat. Aksi-aksi itu total jumlah pesertanya mencapai ratusan ribu dan memperkokoh kekuatan tuntutan umat Islam di negeri ini. Aksi damai umat Islam disalahpahami oleh sebagian pihak kaum liberal dengan tuduhan tendensius sebagai aksi yang mengkhawatirkan, ancaman keamanan, kudeta, memicu fitnah dan membangkitkan perpecahan. Lalu diikuti berbagai seruan-seruan untuk ‘menggembosi’ aksi-aksi tersebut. Lalu bagaimana dengan keberpihakan media massa mainstream dan para wartawannya? Sebagian Masyarakat menilai media-media pragmatis melancarkan pemalsuan bahkan penyesatan kepada publik.
Tindakan kekerasan verbal Ahok terjadi dengan semua konsekuensi negatif yang menyertainya. Ini adalah realitas masalah yang harus kita selesaikan secara Islami. Ketidakberpihakan pada Islam dan kaum muslim secara samar dan ketidaktegasan mencolok yang dilakukan pemerintah dalam mengentaskan kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan Ahok melukai perasaan religius warga negaranya, sungguh merupakan kebijakan yang menyesakkan dada, mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai sejarah panjang dalam kebijakan represif otoriter rejim-rejim Penjajah terhadap mayoritas Muslim.
Kita mengecam kericuhan di malam hari yang dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab dalam aksi 411, namun tidak akan mengurangi esensi dari Aksi sejuta Umat II adalah aksi damai. Mengingat peserta aksi damai mampu berpikir jernih, tidak mentolerir tindakan fisik. Oleh karenanya, meskipun di provokasi oleh langkah represif tersebut, peserta memilih untuk membubarkan diri secara damai tanpa melakukan perlawanan fisik.
Rezim selalu mengklaim sebagai negara toleransi dan multikulturalisme, negara yang menjunjung kebebasan, menghormati semua agama dan budaya, justru menghasilkan gubernur yang mengkriminalisasi mayoritas dengan provokasi langsung dan terang-terangan menunjukkan kebencian dan permusuhannya terhadap al Qur’an.
Sementara itu jika berbicara tentang rasa hormat terhadap keyakinan religius, sesungguhnya pemerintah di negeri ini secara simultan mengokohkan sekulerisme di Indonesia. Dia mengekspresikan pondasi sekuler, sementara pondasi sekulerisme adalah sebuah ideologi yang berulang kali menunjukkan intoleransi terhadap Islam, juga menunjukkan ketidakmampuan dalam mengakomodasi hak-hak umat Islam, diilustrasikan oleh berbagai problem keagamaan umat Islam yang tidak pernah tuntas.
Sungguh semua teori, rencana dan praktek represif untuk meredam suara umat pasti akan mendapatkan aksi balasan dari umat, mengingatkan umat pada sejarah imperialis, dimana kaum Muslim diperintah dengan besi dan api, namun demikian semua itu tidak membuat kaum Muslim menyerah. Hendaklah para rezim sekuler otoriter belajar dari sejarah jika mereka berakal.
Dalam hal keberagamaan, rezim sekuler mengembangkan pluralisme atau sinkretisme sebagai turunan dari sekularisme, dimana pandangan ini menyatakan pluralitas manusia, pendapat atau agama adalah suatu fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak boleh ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan kata lain semua agama adalah sama.
Secara historis kemunculan sekularisme ini sendiri adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama, dan pemikiran derivatnya yaitu liberalisme dan pluralisme, termasuk kapitalisme dan demokrasi adalah produk yang sengaja disiapkan untuk menjadi tameng agar masyarakat eropa tidak lagi terjerumus pada trauma masa lalu, bersatunya negara dan agama.
Mengingat dari apa yang kita ketahui dengan baik tentang penggambaran media negeri-negeri sekuler, khususnya di Barat tentang Islam dan kaum Muslim di satu sisi, efek media dan teorinya di sisi lain, adalah tidak bisa diabaikan representasi media sebagai faktor penyebab sentimen dan kejahatan anti-Muslim dan penerapan syariah Islam yang potensial. Bahkan, ada kemungkinan bahwa sentimen dan kejahatan anti-Muslim, setidaknya sebagian, didorong oleh penggambaran sepihak, sempit, sensasional, dan bisa dibilang fanatik atas Islam dan kaum Muslim oleh media-media liberal itu sendiri.
Sangat penting bagi umat Islam pada umumnya, dan terutama bagi mereka yang telah mengambil atas dirinya untuk melanjutkan cara hidup Islam, agar memahami hubungan ini, mekanisme dan peran kita. Kita perlu mengungkapkan motivasi yang nyata dan akibat-akibat yang menghancurkan dari perang melawan Islam dan juga akibatnya di negeri-negeri Muslim.
Ini adalah paradoks, kebebasan berbicara yang dianggap sebagai hak konstitusional rakyat, bahkan dijatuhkan terhadap kaum oposan yang kritis (yang berpikir di luar norma-norma demokrasi) untuk membungkam mereka melalui kebijakan yang preventif dan represif. Dan jika perlu mereka dibungkam dengan kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan kaum liberal tidak yakin atas ide ini dan ini hanya digunakan untuk melayani agenda mereka sendiri untuk membungkam kaum muslimin.
Akhirnya, kami umat Islam hanya percaya kepada cara Nabi Muhammad Saw. dalam menyelesaikan kasus penistaan al Qur’an, kami mencintainya, kami mengikutinya dan kami akan selalu berdiri untuk membela kehormatannya. Apa yang disebut sebagai kebebasan berbicara atau apapun tidak dapat meyakinkan kami sama sekali dan sebaliknya, bahkan kami tidak yakin sedetikpun.
Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia, (Direktur Pusat Kajian Data dan Analisis)
(*/arrahmah.com)